♫ Izinkan aku, untuk terakhir kalinya. Semalam saja bersamamu, mengenang asmara kita. Dan akupun berharap, semoga kita tak berpisah. Dan kau maafkan kesalahan yang pernah kubuat. ♫
Sorot lampu kelap – kelip berganti menjadi cahaya spotlight indah ke arah Beatrix. Gemuruh tepuk tangan menggema usai dia selesai menyanyikan lagu favoritnya yang berjudul ‘berharap tak berpisah’ dari Reza Artamevia. Sambil menaruh mikrofon ke stand mic, ia tersenyum lebar, menatap orang – orang yang menghargai suaranya. “Terima kasih banyak,” ucap wanita bermata cokelat tersebut kepada para penonton.
Selang beberapa saat, Beatrix melangkah menuruni panggung. Bertepatan dengan itu, seorang dirigen mengayunkan lengan. Dia memberi aba – aba ke pemain musik untuk kembali mengambil alih peran. Instrumen Beethoven, fur elise lantas dipilih untuk menghibur segenap insan yang menyaksikan. Alunan nadanya yang syahdu mampu menghipnotis semua agar dapat terus terjaga di sepanjang malam.
“Anak Mommy juara! Mommy bangga banget sama kamu! Gimana kalau kamu rekaman, sayang? Keluarin album kolaborasi sama penyanyi luar negeri! Pasti bakal meledak di pasaran!” celoteh Helma ketika putri tercintanya telah bergabung lagi bersama keluarga besar di sofa dekat perapian. Namun alih – alih terbang atas pujian, Beartix malah menunduk malu menanggapi, “Ah, Mommy berlebihan.” Dia tidak suka dilambungkan oleh sanjungan yang bersifat hiperbola.
Kepribadian ibu dan anak itu memang sangat bertolak belakang. Dari sekian banyak sifat, mungkin hanya ada satu keselarasan mereka yang mencolok. Yaitu keduanya sama – sama pekerja keras, atau dikenal pula dengan sebutan workaholic. Seluruh hal yang menyangkut pekerjaan, tentu akan mereka lakukan secara optimal. Di dalam kamus mereka tidak mengenal istilah lelet, berleha – leha, apalagi rebahan seharian.
“Serius deh, sayang! Suara kamu bagus! Mommy jamin, kalau kamu jadi penyanyi, kamu bisa sukses!” Helma benar – benar teguh pada pendiriannya. Dia sedikit terobsesi untuk menciptakan kesempurnaan dalam diri Beatrix.
Tapi kebulatan hati Helma memperoleh pertentangan dari Edwin. Pria dengan berewok tipis tersebut melontarkan pendapat sarkastis. Dia menganggap pernyataan kakak kandungnya sungguh menggelikan, sehingga ia tak tahan jika tidak ikut berkomentar, “Jangan terlalu percaya diri. Ingat! Masih banyak penduduk Indonesia ini yang jauh lebih berbakat dalam tarik suara.”
Helma yang tadinya hendak meminum seteguk cocktail, seketika berdecak seraya menaruh kasar gelasnya di atas meja. “Ya, lalu apa urusannya? Gak peduli mau di dunia ini ada jutaan orang berbakat, atau bahkan milyaran sekalipun. Kalau anakku yang punya kesempatan, ya anakku yang jadi penyanyi, bukan mereka!” serunya sewot.
“Wah, sombong sekali ya, Mbak. Apa mungkin ini efek kapitalisme?” sindir Edwin dengan raut wajah mengejek. Tak gentar, Helma membalas sinis, “Sebagai sesama manusia kapitalis, Mbak rasa kamu gak pantas ngomong gitu.”
Edwin menyeringai dan kembali memprovokasi “Yah, terserah Mbak ajalah. Aku sih cuma mengingatkan. Sesuatu yang dipaksakan, gak akan pernah baik hasilnya.”
“Apa maksudmu?! Menurutmu, anakku mustahil berhasil jadi penyanyi?”
“Loh? Aku gak bilang apa – apa. Kenapa Mbak merasa begitu?”
“Ya karena omonganmu ambigu! Seperti ada pesan tersirat yang–” belum sempat Helma menyelesaikan kalimat, suaminya yang tampan berinisiatif menengahi. “Sst! Berisik ah kalian! Butuh konsentrasi, nih!” kata Delvin dengan pandangan tetap tercurah pada papan karambol.
“Ih, Daddy mah bukannya bantu belain!” protes Helma kesal.