Fajar perlahan tandas. Lukisan langit yang semula ungu, kini membiru. Mentari sayup mengintip di balik awan. Siap memancarkan sinar yang mencerahkan dunia. Tak ketinggalan pula, burung - burung bernyanyian. Membantu segenap manusia menyadari bahwa pagi telah menjelang.
Berkebalikan dengan suasana indah alam, di salah satu sudut kota hujan, hari justru diawali kesenduan. Kelabu menyeruak di segala penujuru kediaman mewah milik konglomerat nomor satu Asia. Pasca kejadian yang menorehkan sejarah kelam, istana Cakrabuana mendadak senyap. Tidak ada penghuni yang berani membahas peristiwa semalam. Apalagi memberi komentar yang bukan - bukan.
Tetapi meski demikian, berita tentang cucu pemabuk yang mengacaukan pesta bukan tidak mungkin tersebar. Sebab ada pihak luar yang turut menyaksikan, sulit menjamin seratus persen kerahasiaan. Buktinya sejak subuh tadi, sudah ada belasan telepon dari wartawan berbagai media yang hendak mengonfirmasi isu miring yang tersebar liar.
Itulah alasan terbesar mengapa anggota keluarga berat untuk menampakan muka. Mereka meminimalisir interaksi guna menghindari kecanggung yang pasti bakal dihadapi. Ketika kemarin pesta terpaksa usai, banyak pasang mata yang seolah membidik ke arah mereka. Sehingga mereka otomatis bergegas memencar. Ada yang bersembunyi ke dalam kamar dan ada juga yang pergi meninggalkan rumah, entah ke mana. Hingga detik ini, mereka sama – sama memilih bungkam dan mengisolasi diri demi ketenangan pribadi.
Situasi semacam ini tentu cukup meresahkan, termasuk bagi para pelayan yang bekerja. Mereka jadi serba salah, serasa terjebak dalam keadaan yang membingungkan. Apa yang harus diperbuat dan bagaimana harus bersikap, mereka sendiri tidak tahu. Mereka hanya senantiasa menjalankan kewajiban, walau tanpa kepastian.
Seperti sekarang, para pelayan telah menyiapkan menu sarapan lengkap di atas meja. Tetapi tidak terdapat satupun juragannya yang muncul ke ruang makan. Sajian nasi goreng seafood, sup ayam, sandwich, waffle, buah, dan susu yang dihidangkan seakan sia – sia karena tak ada yang menjamah.
“Hampir setengah jam kita menunggu. Baiknya kita apakan makanan ini, Pak? Saya khawatir, jika nanti tuan dan nona datang, makanan malah dingin,” tanya Alya kepada Pak Setia. Mereka berdua tengah berdiri di samping meja makan, menanti kehadiran keluarga Cakrabuana. Kecemasan tergurat jelas di raut wajah keduanya.
Sejujurnya Pak Setia juga sangsi terhadap tindakan yang mesti dilakukan, mengingat hari ini dia belum menerima komando apapun dari tuan besar. Namun sebagai seorang kepala pelayan, dia wajib mengatur kendali. Pria berkumis tebal tersebut kemudian berjalan maju, mendekati meja. Sambil mengamati beberapa piring berisi makanan, dia menginstruksikan, “Buat makanan yang baru dan antarkan ke setiap kamar!”
“Makanan baru? Maksud Bapak, memasak lagi makanan dengan menu yang sama atau berbeda?”
“Menu yang sama seperti ini saja, tidak apa.”
Alya sedikit menunduk, pertanda ia memahami perintah. Dia lalu merogoh saku di balik celemek putihnya dan mengambil sebuah lonceng kecil dari sana. Setelah bel dibunyikan, enam orang pelayan lain masuk ke ruangan, menghampiri sumber suara. Mereka berpakaian hampir serupa dengan Alya, mengenakan seragam maid pada umumnya. Namun yang membedakan, mereka tidak memakai bandana putih di kepala.
“Tolong sampaikan kepada juru masak kita, segera buat ulang menu sarapan ini!” Alya berucap penuh wibawa ke para wanita muda yang memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya.
Mereka yang berdiri di hadapan Alya itupun menjawab kompak, “Baik, Kak.”
Salah seorang di antaranya bertanya, “Apa ada lagi yang bisa kami bantu?”