Seisi rumah gempar oleh penemuan mayat tuan besar yang didapati mengenaskan di dalam kamar. Jasad pria enam puluh delapan tahun itu tergeletak di lantai dekat jendela dengan simbahan darah yang berceceran. Berdasarkan pengamatan umum, jelas cairan merah kental tersebut bersumber dari dalam mulut Mahawirya. Menimbulkan perkiraan kuat, ia memuntahkannya sebelum ajal menjemput.
Namun demikian, belum ada yang mengetahui pasti penyebab kematian Mahawirya yang mendadak ini. Bila melihat kondisi kamar yang rapi, tidak mungkin ia dibunuh oleh pencuri atau orang yang mengincar harta bendanya. Tubuhnya juga tidak memiliki goresan luka apapun, sehingga tewas akibat penganiayaan sulit untuk diyakini.
“Overdosis?” hanya itulah probabilitas paling masuk akal bagi pak Setia. Sebab di bawah nakas, tampak berserakan obat - obatan. Tablet berwarna biru muda yang merupakan sebuah zat sedatif milik tuan besar, terjatuh dari wadah botolnya.
Mahawirya memang telah lama mengonsumsi penenang eszopiclone secara rutin. Dokter meresepkan obat ini sejak tiga belas tahun silam, demi membantu kesulitannya untuk tidur di malam hari. Tetapi belakangan, ia sering menelan obat melebihi dosis yang dianjurkan; yakni dua miligram per hari. Alasannya tak lain karena dengan begitu dia dapat terlelap lebih cepat dan lebih nyenyak.
“Benarkah? Overdosis… maksud Bapak, tuan sengaja bunuh diri? T-tapi, kenapa? Untuk apa tuan bunuh diri? Apa yang memicu beliau ingin bunuh diri? Bukankah selama ini tuan hidup bahagia? Tidak pernah kan tuan mengeluh depresi? Lantas kenapa harus bunuh diri?” cecar Alya diiringi air mata yang mengalir tiada henti.
Pak Setia menarik nafas panjang. Dia juga merasa sesak atas kehilangan yang amat mengentakkan. Tetapi dia berusaha tegar di hadapan orang – orang, dengan harapan agar mereka juga bisa ikut mengontrol kesedihan. “Sudahlah, kita tidak usah membahas ini dulu. Kita harus menyampaikan berita duka ini ke anggota keluarga yang lain. Itu yang terpenting sekarang.”
Alya menggigit bibir sambil menyeka air mata. Walau isak tangis masih belum bisa berhenti sepenuhnya, namun ia berupaya tabah. “Bapak benar. Biar saya yang menghubungi mereka. Bapak tunggu di sini saja, temani tuan,” ujar Alya dengan pandangan sendu pada Mahawirya.
“Ya, seperti biasa, saya akan selalu menemani tuan. Percayalah.” Senyum hampa tergurat di wajah Pak Setia. Sebagaimanapun ia menutupi, kepedihan hati pria paruh baya tersebut nyata tersirat. Betapa tidak, puluhan tahun dia telah mengabdikan diri kepada Mahawirya. Hari - hari selalu mereka lalui bersama, yang secara otomatis menjalin pula kedekatan bak saudara. Maka tentu berat melepas kepergian beliau, pribadi yang begitu berharga untuk selamanya.
Alya menundukan kepala, memberi hormat pada Pak Setia. Dia lalu beranjak dari kamar tuan besar menuju ruang perapian. Di sanalah ia akan menelepon satu per satu anggota keluarga. Melaporkan kematian konglomerat terkaya di kawasan Asia. Entah ini bakal menjadi berita yang menyedihkan atau mengembirakan bagi mereka, namun sudah sepatutunyalah mereka mengetahui kabar.
Keluarnya Alya dari kamar, memberi ruang privasi pada Pak Setia untuk dapat meluapkan emosi yang sedari tadi tertahan. Dia perlahan duduk di pinggir tempat tidur, bersebelahan dengan mayat Mahawirya yang telah dibaringkan secara layak. Sembari memegang tangan dingin tuan besar, air mata jatuh membasahi pipi. “Kenapa begini…” lirihnya putus asa.
Setiap kenangan dengan Mahawirya terekam jelas di memori Setia Ismawan. Kala mereka bertemu pertama kali di Kota Tua. Kala mereka dipersatukan dalam kontrak kerja. Kala mereka berburu jajanan kaki lima. Kala mereka liburan berdua keliling Eropa. Dan bahkan kala mereka saling berbagi tangis serta tawa, semua tersimpan indah sekaligus pilu dalam ingatan. Sangat sukar baginya menerima realitas pahit ini.
Nestapapun semakin melanda, manakala Pak Setia merenungkan pula mimpi tuannya yang belum sempat tercapai. Impian sederhana tentang menjalani kehidupan bersahaja di masa pensiun, di mana dia dapat bersantai dan menikmati nafas senjanya tanpa beban pikiran terkait perusahaan. “Apa yang sebenarnya Tuan pikirkan? Bukankah seharusnya ada hal penting yang mau Tuan sampaikan kepada keluarga Tuan? Kenapa Tuan malah buru – buru? Kenapa berpulang dengan memaksakan kehendak Tuhan? Tuan bahkan… tidak mengucapkan salam perpisahan. Kenapa segitu teganya meninggalkan saya?”
Ribuan pertanyaan yang membayangi benak Pak Setia terang tak memperoleh jawaban. Mahawirya hanya terbujur kaku di pembaringan sambil memejamkan rapat kedua mata. Dia sungguh telah tiada. Tidak ada detak jantung yang memompa kehidupannya. Walau sulit untuk diterima, tapi inilah lukisan takdir yang wajib dihadapi.
---
Di tengah sedu sedan Pak Setia meratapi kenyataan, tiba – tiba Aksa memasuki kamar Mahawirya. Kedatangannya disertai dua orang pria asing yang mengekor di belakang. Kedua pria tersebut berbadan tinggi tegap dengan pakaian necis yang menunjang penampilan. Seorang mengenakan trench coat kuning dan seorang lagi menggunakan jaket kulit hitam.