Mobil sport lamborghini berwarna cyan melaju kencang memasuki area istana Cakrabuana. Kecepatan roda baru melambat ketika sampai di halaman depan kediaman utama. Begitu kendaraan terparkir, seorang wanita bermantel bulu bergegas turun dari sana. Kemunculannya sontak membuat para pelayan yang berbaris menyambut, menundukan kepala memberi salam.
“Di mana papa?” tanya Helma kepada Alya yang turut berada dalam barisan.
Dengan mata berkaca – kaca, dia menjawab, “Di kamar beliau, Nyonya.”
Tanpa basa – basi, Helma langsung melangkah gesit ke tempat yang disebutkan. Tidak peduli pergelangan kakinya tengah sakit karena high heels yang kekecilan, ia terus bergerak maju demi dapat segera menemui Mahawirya.
Sial, saat pintu kamar dibuka, Helma justru menjumpai pemandangan mengerikan. Dia memergoki dua orang pria bermasker sedang melucuti pakaian atas ayahnya. Terang adegan mencurigakan tersebut mengejutkan Helma. Sejenak dia membisu, mencerna apa yang terjadi. Tak lama kemudian dirinya memekik ketakutan, “Tolong! Siapa saja tolong! Ada orang gila di sini!”
“Bu, Ibu tenang dulu! Kami bukan orang jahat! Kami tidak bermaksud buruk terhadap jenazah. Kami di sini hanya ingin melaksanakan tugas,” jelas Pak Bara, pria berkulit sawo matang yang memakai jaket kulit. Dia agak gelagapan menyanggah segenap pikiran negatif Helma terhadap mereka.
Rekannya, pria tampan berinisial Mr. A juga ikut menimbali, “Benar, Bu. Tolong jangan heboh seperti itu. Kami mohon kerja samanya.”
Helma mengernyitkan alis. Dia bingung memahami penuturan kedua pria dewasa di seberangnya, “Kalian bilang apa? Tugas? Kerja sama? Apa maksud kalian?”. Ekspresinya mulai sedikit rileks, tapi tangan tetap mengepal erat. Pertanda ia masih merasa terancam.
Merekapun memutuskan menghentikan sementara pekerjaannya untuk menghampiri Helma dan meluruskan kesalah pahaman ini secara baik – baik. “Begini loh, Bu…” ucap Pak Bara mengawali kalimat. Namun sayang, pemaparannya harus terpotong lantaran tiga orang security datang. Sambil terengah – engah, mereka bertanya kepada majikannya, “Bagaimana keadaan Nyonya? Apa Nyonya tidak apa – apa? Dan di mana orang gilanya? Apa dia sudah kabur? Ke mana arah kaburnya, Nya?”.
Rentetan kecemasan yang mereka tunjukan justru membuat Helma muak. “Orang gila, orang gila… kalian tuh yang gila! Lama banget nyampenya! Kalau saya beneran dalam situasi genting gimana, ha?! Mau tanggung jawab kalian?! Percuma dong gaji besar kalau gak becus gini!” amuk Helma dengan tatapan tajam. Para satpam yang dimarahipun memilih diam seribu bahasa. Mereka tahu betul bahwa menanggapi sama dengan mencari mati.
Seiring waktu, Helma menyudahi sendiri omelannya. Dia selesaikan kicauan nyaringnya sebab teringat tujuan awal kepulangannya ke rumah. “Ah, kan! Gara – gara kalian, saya hampir lupa yang lebih penting! Papa!” ketika ia menengok ke arah ranjang, dia turut melihat dua pria asing yang berdiri di sampingnya. “Oh, iya… urusan sama kalian juga belum kelar, ya?” ujarnya malas sembari memijat kening.
“Cepatlah katakan! Siapa kalian dan apa kepentingan kalian di sini?”
“Kami adalah anggota Indonesia Bureau of Investigation dan kami di sini untuk menggali informasi,” urai Mr. A ringkas, sesuai pertanyaan yang dilayangkan.
Helma memicingkan mata, mencoba menganalisa. “Biro investigasi? Kalian bercanda? Untuk apa orang seperti kalian kemari?”. “Bukankah jelas apa yang menjadi tujuan kami?” sahut ligat Mr. A seraya menunjuk Mahawirya. Mengisyaratkan kehadirannya di kediaman mewah ini berhubungan dengan kematian konglomerat tersebut.
Ck –
“Kalian mau memperkeruh suasana rupanya.” Helma menyilangkan kedua tangan serta membuang muka sebentar. Lalu dia kembali menyelisik “Pasti kalian bekerja berdasarkan permintaan klien, kan? Sekarang katakan! Siapa yang menyewa kalian?”.
Pertanyaan itu dibalas pertanyaan lagi oleh Mr. A, “Kenapa anda peduli mengenai siapa yang menyewa kami? Bukankah sewarjanya seorang anak lebih penasaran kenapa investigasi ini dilakukan? Apa yang salah dengan kematian ayahnya? Apa ada sesuatu yang tidak beres? Begitukan semestinya yang ada di benak anak yang menyayangi orang tuanya? Atau anda bukan termasuk bagian dari mereka?”
Helma menyeringai sinis. Dia sadar harga dirinya sedang dipermainkan. “Anda pintar bicara, ya… tapi anda gak cukup pintar untuk bersikap. Anda gak tahu dengan siapa anda berhadapan?”. Helma mengangkat dagunya, kemudian mengejek, “Barangkali anda belum pernah membaca Forbes, Time, atau majalah ekonomi bisnis lainnya. Jadi biar saya memperkenalkan diri!”
“Saya Pramadia Helmawati Cakrabuana, komisaris utama MAC Group! Perusahaan induk yang membawahi MAC Media, MAC Mall, MAC Royal Estate, dan MAC Hotel and Resort. Saya masuk jajaran seratus wanita paling berpengaruh di dunia. Dan saya bisa mengendalikan segalanya, termasuk nasib pegawai kantoran yang tidak punya sopan santun,” ujarnya angkuh.
“Wah, hebat! Anda seperti Tuhan,” sarkas Mr. A sambil tersenyum penuh makna. Tetapi Helma tetap menangkapnya sebagai pujian. Dia tertawa ringan dan berlagak anggun dalam menanggapi, “Gak sampai sehebat Tuhan. Tapi bisa dibilang saya titisan Tuhan. Saya mempunyai kuasa untuk mewujudkan apa yang saya mau. Seperti misalkan, mengusir paksa kalian berdua dari rumah saya, kalau kalian gak bilang siapa yang memanggil kalian kemari.”
Pria berahang tegas itu memasang ekspresi datar. Dia kira, bakal sia – sia bila terus meladeni wanita yang jelas memiliki sifat keras kepala. Jangankan dapat memahami, berkompromi dengan dirinya saja susah.