Malam tanpa Rembulan

Asya Ns
Chapter #1

Jatuh dalam Gelap

Bayangan hitam putih melesat ke puluhan tahun lalu.

Kota Banyuwangi. Desember 1962.

“Hahaha haha” Adalah suara Shaba, si gadis kecil yang terbahak-bahak karena dilempar ayahnya ke udara. Rumah berlantai semen kasar dengan bangunan batu bata berdinding penuh kayu itu yang menjadi saksi.

“Yah, turunkan, biarkan anaknya makan dulu, keburu sekolahnya nanti terlambat.” Wanita itu tersenyum, berdiri pada kursi bambu, menatap laki-laki yang menjadi ayah satu anak itu menurunkan putrinya yang padahal sudah kelas lima SD.

Sang ayah menghantarkannya ke sekolah dengan sepeda ontel. Shaba bersyukur atas hadirnya keluarga yang lengkap, berkecukupan dan bahagia. Dia hanya ingin bersekolah, menjadi siswi yang pandai dan memenuhi cita-citanya. Membahagiakan keluarganya. 

Shaba SMP tumbuh menjadi gadis yang cantik. Mata berwarna hazel dan rambut ikal yang hitam lebat, pada zaman itu adalah representasi dari banyaknya pria yang mendekati Shaba, yang tertolak.

Pulang sekolah. Jalanan setapak penuh kerikil, kanan jalan dipenuhi kebun jagung dan singkong, sebelah kiri adalah gubuk rumah warga.

“Siapa dia?” menujuk ke halaman mushola. Shaba yang merasa ditatap sosok pria berpeci dari kejauhan bertanya pada salah seorang sahabatnya. 

“Dia katanya anak pondokan, yang baru pulang ke kampung kita, kan?”

“Oh, ya? Kenapa dia melihatku seperti itu?”

“Karena kamu terlalu cantik, Shaba.” Jawaban temannya membuat Shaba tersenyum, melanjutkan perjalananannya pulang. Sejak saat itu, tidurnya tidak pernah tenang, makannya tidak pernah enak, dan dia tidak pernah lagi pergi ke sekolah. Ciri-ciri yang sama, tetapi bukan sebab jatuh cinta. Shaba menderita sakit dihantui bayang-bayang mengerikan selama berbulan-bulan, hingga sayembara penyembuhan diselenggarakan. Dan Shaba, gadis 14 tahun itu sudah menjadi milik laki-laki orang yang menyembuhkan penyakitnya. Si laki-laki berpeci tadi.  

✿✿✿

Kota Malang. 28 April 2022.

“Pertanyaan selanjutnya, apakah kamu ingin menjadi pribadi yang menginspirasi? Jika iya, apa pendapatmu, mengapa penting menjadi sosok inspirasi bagi banyak orang, terlebih generasi muda di Indonesia?” Kedua orang pria yang berada di dalam ponsel melempar tatapan menginterogasi. Menunggu jawaban. Selempang ‘Duta Inspirasi Indonesia’ melingkari tubuhnya.

“Iya. Menjadi sosok inspirasi sama berartinya dengan menyelamatkan hidup seseorang. Ada banyak manusia berada dalam keputusasaan, mereka dapat kembali bangkit hanya dengan inspirasi. Generasi muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Mulai dari anak-anak, mereka tidak akan paham arah yang benar jika tidak dituntun dalam inspirasi jalan yang lurus. Maka dia tidak memiliki tujuan melanjutkan langkahnya, pendidikannya, sehingga mereka berhenti bermimpi dan menjadi rantai kemiskinan baru.

Menjadi inspirator, tidak akan mengurangi apa pun dalam diri seseorang. Justru dengan berbagi kisah, dan pengalaman inspiratif, dapat membantu seseorang merealisasikan kehidupan yang diinginkan. Ikut terlibat langsung dalam aneka kegiatan, mengenalkan pada generasi, bahwa dengan membaca kita akan mengenal dunia, dan dengan menulis kita akan di kenal di seluruh dunia. Oleh karena itulah saya memilih untuk bergabung bersama para Duta inspirasi dan pergi ke Korea Selatan.”

Mendengar jawaban dari gadis berhijab hitam di hadapannya, kedua pria itu mengangguk.

“Aduh, Nay. Mereka paham nggak ya dirimu ngomong apa? Mana cepet banget lagi. Aduh, semoga aja bisa lolos dan bisa buktiin ke tetangga-tetangga, keluarga. Kalau kuliah itu ada gunanya. Terus pulang bisa deh, bawa kabar gembira.”

Hembusan napas kasar terdengar. Jantung Nayanika berdegup kencang. Ruangan persegi 3x4 meter, tinggi 2,5 meter itu menjadi semakin sesak. Jendela kayu berderit tertiup angin. Suara kendaraan ramai berlalu-lalang. Kasur lantai dan satu lemari kayu yang menjadi saksi harapannya sudah merabung tinggi.

“Maaf, Arisha Nayanika. Kamu hebat sudah berada di tahap sejauh ini. Jika yang dipilih adalah 50 peserta tanpa adanya gelombang dua. Kami yakin dirimu layak. Karena ada gelombang 2, jadi tiap gelombang hanya dapat diambil 25 peserta yang lolos fully funded ke south korean. See u next opportunity, never give up, do you a great women!

Nay melambai ke kamera. Wawancara online babak terakhir di tutup. Gadis dengan mata caramel brown, berbulu mata lentik, dan kulit sawo matang, merebahkan dirinya ke lantai. Diam sedikit lebih lama untuk membiarkan air matanya terurai.

Tuttt… tuttt…

Nay mengusap mata, “halo?”

“Halo, Mbak. Gimana wawancaranya tadi?” Wanita paruh baya itu bertanya, tangannya memarut kelapa, ponselnya disandarkan pada baskom air.

“Nggeh, belum rezeki, Buk.”

“Ibu juga bilang apa, susah Mbak, buat lolos-lolos hal-hal begitu. Coba mbak mau nemui orang pinter yang Ibu kasih tau waktu itu, dia bisa buang kesialan kita, terus mbak bisa jadi terkenal atau apa pun yang mbak inginkan. Ibu udah nyoba dan Ibu udah merasakan sendiri manfaatnya. Mbak sih nggak mau nurut sama Ibu—”

“Mbak jadi pulang, kok, Buk. Untuk keagagalan tadi, Mbak pengen Ibu bisa mendoakan yang baik-baik, ngomong yang baik-baik buat Arisha kedepannya. Karena doa ibu itu yang paling cepat diserap semesta.”

“Ya udah lah kalau gitu, nanti lagi aja, ya, Ibu lagi masak, soalnya mau ada tamu. Assalamualaikum.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Entah didengarkan atau tidak tadi ucapan Nay. Ia harus segera berkemas. Jadwal keretanya akan berangkat sebentar lagi.

Kereta ber-poong kencang, menandakan keberangkatannya sekejap lagi. Melaju cepat bergerbong-gerbong. Nay duduk di dekat jendela, menatap ke luar. Gelap. Kelap-kelip lampu seakan berjalan, berebut hari kemenangan yang kurang empat hari lagi.

“Mbak Sha jadi pulang tidak?” Nay membaca tulisan pada ponsel. Dapat ditandai yang memanggil Arisha pastilah keluarga rumah, orang-orang terdekat saja. Nay mengganti nama panggilannya sejak keluar dari pulau Sumatra.

“Gak jadi Mia. Mbak masih ada tugas di sini, nggak bisa pulang.” Nay membalas pesan sembari tersenyum-senyum jahil.

Lihat selengkapnya