Malam tanpa Rembulan

Asya Ns
Chapter #2

Bulan Sabit Akhir

Halaman rumah dengan lebar 10x7 meter itu 3x3 meter bagian depan di tanami pohon singkong. Ada juga nangka, mangga, kopi, kakao dan berbagai tumbuhan yang hidup di sana.

Shaba menatap kosong ke halaman itu, suasana hening diisi dengan kicau burung dan ayam-ayam yang ramai hendak bertelur. Terik matahari membakar jalanan setapak, menerbangkan debu sepanjang jalan pintas ke rumah Ziya, lokasinya bersebelahan.

Nay menatap dari pintu, mendekat. “Kenapa melamun, Nek?” Menyentuh tubuh si Nenek perlahan.

Shaba menoleh, tersenyum getir, melihat sang cucu duduk di sampingnya.

“Bibi ngomong sesuatu? Nenek ada masalah? Cerita aja ke Arisha.” Menyergah, sebelum sempat Shaba bertanya basa-basi.

Perempuan itu menghela napas berat, “Nenek bingung harus bagaimana lagi untuk menyadarkan kakakmu itu. Sudah pernah nenek nasehati. Suka sama orang lain boleh, tapi jangan orang yang sudah menikah, apalagi masih kerabat kita sendiri. Dia mau ngapain aja silahkan, tapi jangan ganggu rumah tangga orang. Apa nenek salah bilang seperti itu?” Nada bicaranya dipenuhi api panas namun tak mampu membakar apa pun selain dirinya sendiri.

“Nenek nggak bilang ke Ibu?” Nay bertanya.

“Sudah, tapi lihatlah sendiri. Dibanding mendidik anaknya, Ziya juga sibuk dengan urusannya sendiri. Keluarga kita ini sudah sering dibicarakan orang-orang, Nay. Nenek lelah menjawab pertanyaan mereka. Nenek Malu.” Menyerobot bajunya menyentuh ujung mata.

Hidung Nay memanas.

“Tetapi, Ibu juga pernah bilang, kok, ke aku kalau ibu, tuh, sebenarnya udah pernah nasehatin. Tetapi malah dia yang marah-marah ke ibu. Sampai ibu ngeluh kalau ini tuh bukan didikan ibu, anak-anak ibu gak ada yang kayak gitu, ibu gak pernah ngajarin kayak gitu. Ibu sampe ngira kalau kakak tetep kekeuh sama kesalahannya dan gak mau berubah. Itu, berarti memang karena kakak nggak terlahir dari rahim ibu.”

Hening tercipta beberapa saat sejak sekian lama kalimat dan kata-kata itu tidak pernah lagi terucap. Nenek terdiam cukup lama. Badannya bersandar pada kursi bambu panjang.

“Lisya memang bukan anak kandung ibumu, Sha. Dia anak adopsi.”

“Jadi, Mba Lisya juga bukan mbak kandung Mia?” Nay dan Nenek menoleh ke belakang, berdiri di pintu Mia dengan kerudung coklat, siap pergi mengaji. Ini rumit, usia Mia masih 11 tahun. Namun, Mia dituntut dewasa sedikit lebih cepat, ia biasa memahami masalah keluarganya sejak kecil.

Nay dan Mia seksama, menyimak cerita Nek Shaba. Meski usianya sudah 60 tahun lebih. Nek Shaba sama sekali tidak seperti nenek-nenek pada umumnya. Dia terlatih mandiri. Menjaga pola makan dan istiqomah dalam ibadah. Membuat aura wajahnya terlihat 10 tahun lebih muda dari nenek-nenek seusianya.

“Lisya saat itu baru berusia satu minggu, ketika Ziya (ibumu) membawa pulang kerumahnya. Dia pesakitan dan orang tuanya miskin dan memiliki 2 anak, mereka tidak bisa mengurus semuanya, tidak bisa membawa Lisya berobat. Ibumu dulu adalah orang paling kaya di kampung. Sapinya banyak, kembar-kembar, ladangnya berhektar-hektar, warisan melimpah. Segala sesuatu dia punya, kecuali, anak. Karena ibumu menyukai anak kecil, dia suka berbagi ke mereka-mereka. Termasuk Lisya kecil. Nah, hari itu orang tua Lisya datang ke rumah ibumu, memberikan anaknya untuk diurus, karena Lisya kecil sakit kejang/vertigo. Seperti hendak meninggal jika tidak segera mendapatkan penanganan dokter. Lisya kecil pun dirawat ibumu. Mereka hidup dalam sukacita, saling melengkapi, mengisi satu sama lain.”

Nay dan Mia mengangguk, saling tatap.

“Kemudian, ibumu bercerai dengan suaminya yang pertama. Bermula dari si suami yang menuduhnya berselingkuh dengan seorang agen penyalur TKI ke Malaysia. Karena menikah sejak umur 14 tahun, ibumu pengen melihat dunia luar, mencoba membujuk sang suami untuk menjadi TKI, umurnya 23 tahun, tetapi sama suami pertama ibumu di tolak. Sampai akhirnya ibumu melihat si suaminya dekat dengan wanita lain dan masih diam. Malah ketika bertanya, suaminya marah-marah menghantam kepala ibumu dengan senter. Mengungkit-ungkit bahwa ibumu mandul dan tidak bisa punya keturunan. Zaman itu, senter baterainya enam berceceran. Ibumu; Ziya dibawa ke rumah sakit. Kepalanya berdarah-darah."

Nay dan Mia mengernyitkan dahi, bergidik ngeri, membayangkan kondisi sang ibu.

"Dari situlah Ziya semakin dekat dengan si penyalur TKI itu, namanya Syahdan. Ziya dan Syahdan pergi ke Jakarta. Pulang dari Jakarta, suaminya menolak ibumu dengan alasan Ziya sudah dengan Syahdan, ternyata suami pertama ibumu itu sudah menikah dengan wanita lain dan kabarnya sudah hamil dua bulan. Aduh, ceritanya panjang, nggak mungkin cukup dirangkum sehari. Semuanya pelik. Sampai akhirnya ibumu memilih berpisah dan Lisya diberi pilihan. Dia memilih ikut ibumu, dan nenek yang mengasuh. Karena Ziya pergi mencari uang ke luar provinsi. Ikut Syahdan."

"Owalah, jadi itu awal mula ibu jatuh cinta sama ayah, Nek?" Nay bertanya.

Di kota Jakarta Ziya bercakap dengan Syahdan. Mobil corolla 1.8 menjadi saksi, “Apakah kamu tidak memiliki istri?”

"Ada, tetapi keduanya sudah aku ceraikan. Aku mencintaimu, Ziya. Apakah dirimu keberatan jika menikah dengan duda sepertiku?” balas Syahdan.

Ziya merasa dicintai di sisi Syahdan. Naun, dia mengkhawatirkan sesuatu. “Mereka bilang aku mandul, Syahdan. Apa kamu tidak keberatan jika seandainya tidak bisa memiliki keturunan dariku?”

Dari sanalah Tuhan mulai memerankan kisah Ziya. Ketika Syahdan menikahinya dan beberapa bulan kemudian hamil, sampai ia tidak menyadarinya. Janin pertama itu keguguran. Hamil kedua kali, lahirlah bayi cantik yang diberkati, diberinama Arisha Nayanika.

Mia mengangguk-angguk paham. Menyikut Nay. Resek.

“Hukum Tuhan itu adil, Sha. Suami pertama ibumulah yang mandul. Wanita yang dia bilang hamil dua bulan itu adalah alasan belaka. Dia bahkan mengambil 80 persen hasil penjualan harta yang dimiliki saat bersama ibumu. Lisya kecil yang menginginkan sepeda untuk sekolah. Uang sudah ada, hanya kurang 200.000 rupiah saja, dari hasil berjuta-juta, dia suruh menambahkan tidak mau, dibela-belani bertengkar sampai mau dikampak kepala ibumu.”

Lihat selengkapnya