Malam tanpa Rembulan

Asya Ns
Chapter #3

Bunga tanpa Daun

Nay kecil hanya mengenal nenek dan kakeknya. Seberapa pun mereka mencoba mengenalkan Nay pada orang tuanya. Nay kecil trauma diperebutkan pada pertengkaran orang tua, tidak mau dekat-dekat. Hanya mau berbicara di telepon atau berbicara pada Ziya layaknya orang asing. Ziya sedih, tapi semua itu harus dikikis habis. Ia yakin, ketika sudah dewasa Nay pasti akan mengerti dan mengenal sendiri siapa yang melahirkannya. Buah akan tahu darimana dia jatuh.

Tahun demi tahun berlalu, Ziya menemukan seseorang baru untuk mengisi kerumpangan hidupnya yang terlampau kosong. Mereka bertemu di Malaysia. Sama-sama sebagai tenaga kerja Indonesia. Namanya A'i. Pria asal Blitar. Berbeda pulau yang disatukan oleh perasaan. A'i rela menjual segala harta yang dia miliki dan memilih ikut Ziya tinggal di Sumatera. Mereka hidup sederhana dalam balutan tawa.

Ziya menghampiri Nek Shaba yang sedang istirahat di bawah pohon kakao samping rumah. Peluh membasahi tubuh. Ditemani cangkul, menyelesaikan menanam ubi di garis jalanan samping rumah yang kosong.

"Masak apa, Nek?" Ziya bertanya.

"Sayur buah nangka, kalau mau, ambil, tadi udah disiapin juga di meja. Tapi belum sempat diantar," jawabnya.

"Makasih, ya, Nek."

"Gimana, suamimu, Nduk?"

"Alhamdulillah, udah dapat kerjaan, Nek. Tapi ya nggak bisa diharapkan banyak gajinya."

"Disyukuri." Nek Shaba meluruskan kaki. Kusam debu dibalut cokelat tanah terlihat di sepanjang urat, bersemayam dalam semangat hidup yang ia tanam.

"Nduk, dirimu nggak KB, toh?"

"Buat apa, Nek?"

"KB dulu, Nduk. Biar suamimu kerja dulu, cari modal yang banyak untuk masa tua kalian."

"Halah, Nek. Udah bertahun-tahun menikah juga gak hamil-hamil, kok. Masa' ini baru nikah kemarin udah di suruh KB-KB an segala. Nggak usah lah, Nek."

"Ya, terserahmu."

"KB atau engga juga nggak ngaruh."

"Haha. Ya pokok terserahmu, kalau dibilangin orang tua nggak digugu, semisal hamil di tinggal meninggal biar tahu rasa." Nek Shaba tertawa. Spontan. Tanpa keseriusan mengucapkan kalimat itu.

Tapi ibu adalah malaikat yang menjelma tanpa sayap. Ucapan seorang ibu ibarat roket yang menembus angkasa. Seorang ibu harus memegang erat pesan-pesan dan prinsip dalam diri. Sederhananya adalah, bicara yang baik, atau diam.

Pagi ini berlalu seperti pagi-pagi biasanya.

“Dek.” Nada lembut sang suami menginterupsi.

Dalem Mas A’i?” Ziya berjalan dari dalam rumah. Sepiring gorengan di tangan, menuju ruang utama.

“Buat ganjal perut dulu, Mas. Ngapunten, nasinya belum mateng, tadi kesiangan, Mas nggak mau bangunin, sih.” Ziya memberengut. Kesal dan menyesal.

“Nggak tega mau bangunin kamu, dari kemarin katanya kurang enak badan, mual-mual. Masalah sarapan mah gampang, Dek. Nanti Mas sarapan di lokasi kerja aja, biasanya juga dikirim makan, kok, sama yang punya sawah.” A’i tersenyum manis, mengusap kepala Ziya penuh kasih sayang.

“Mas hati-hati ya, Mas.” Mencium punggung tangan suaminya.

“Adek jaga rumah. Tunggu Mas, ya. Nanti sore kita periksa ke dokter. Takutnya nanti ada apa-apa.”

“He’em. ” Wajah Ziya memerah. Pipinya menggelembung. Bukan karena salah tingkah, tapi karena menahan sesuatu yang berasa mengaduk-aduk perutnya, hendak muntah.

Ziya lari ke kamar mandi. A’i mengikuti di belakang. “Adek beneran nggak papa, kan?”

Yang ditanya hanya menggeleng sembari terus menyodorkan kepalanya ke depan dengan mulut terbuka.

Demi memastikan Ziya benar-benar aman. A’i izin tidak masuk kerja, mengantar ke bidan. Ziya dinyatakan hamil. Air mata kebahagiaan, untuk pertama kali dalam keluarga itu menjadi sempurna. Tasyakuran. Membagikan makanan dan jajan ke anak-anak kecil. A’i sangat bahagia dan antusias. Baru dua tahun mereka menikah dan langsung dikaruniai anak.

Dua bulan usia kandungan, keluarga semakin tidak sabar menanti kelahiran. A’i benar-benar menunaikan kewajibannya sebagai kepala keluarga dengan baik. Meski hanya bekerja sebagai petani, Ziya menerima A’i apa adanya. Duda dan janda yang berupaya melakukan penerimaan, berdamai dengan keadaan. Mereka merasa di anugerahi bahagia yang tak terbatas. Semakin sempurna saat usaha mereka membujuk Nay membuahkan hasil. Nay mau nerima Ziya sebagai ibunya. A’i juga sangat menyayangi Lisya. Tanpa dibeda-bedakan. Sebagai bukti, kamar Lisya direnovasi tunggal agar layak menjadi kamar remaja, temboknya di cat, lampunya menyala terang, lantainya diganti keramik, padahal seluruh bagian rumah adalah dinding bata dan lantai kasar yang beralaskan karpet vinyl plastik.

Pagi berikutnya matahari terasa lebih indah. Fajar memantul di kaca jendela. Menyirami batu-batu di tembok pembatas rumah, lumut-lumut dan jamur yang entah sejak kapan menempel di sana. Ziya bersenandung di dapur. Menanti cahaya merambat naik, memanjangkan bayang-bayang ke depan.

"Jangan lupa masukkan garam, Adek Sayang." Sebuah tangan terjulur ke pinggang Ziya.

"Udah. Mas mah jangan ganggu deh."

"Nggak usah pakai gula gak papa, kok."

"Tapi nanti menyengat mas, aromanya bikin keselek." A'i tidak mau melepaskan, malah mengelus pundak Ziya.

"Enggak, kan gulanya udah di kamu semua."

"Terusin aja, Mas." Mereka tertawa, wajahnya memerah. A'i menepuk-nepuk perut Ziya.

"Kalau nanti lahirnya perempuan dikasih nama yang bisa di panggil Mia, ya, Dek."

"Iya, kalau cewek, Mas. Kalau cowok?"

"Cewek."

Lihat selengkapnya