Malam tanpa Rembulan

Asya Ns
Chapter #4

Kegelapan Kedua

Tidak ada perempuan yang pernah hidup di rumah Shaba, selain perempuan-perempuan bermental baja. Sempat seminggu setelah kematian A’i, Ziya mengalami depresi berat, stress berkepanjangan, bahkan tidak mengenal dirinya sendiri. Kehamilannya berusia semakin tua. Tetapi, tingkahnya seperti anak kecil. Syukur hal demikian bisa sembuh saat pembacaan Yasin dan tahlil; rangkaian kegiatan dalam mendoakan orang meninggal. Di hari ke-7.

Sembilan bulan berlalu begitu saja. Mia lahir di rumah sakit. Shaba-lah satu-satunya yang menemani Ziya di sana. Jangan tanya kemana kakek, dia adalah tsundere tergarang, tidak ada yang berani mengutik keputusannya. Dia ingin di rumah, itu sudah jelas, dan jangan tanya mengapa. Jadwal kesehariannya tidak bisa diganggu gugat.

Untuk ke tiga kali, Ziya berhasil bangkit dari kegagalan rumah tangganya. Tidak mudah memang. Namun, waktu berhasil menyembuhkanya. Hari terus berjalan dengan mencari apa pun yang mampu dia kerjakan dan menghasilkan uang, untuk memenuhi biaya sehari-hari. Mulai dari berternak bebek, budidaya ikan lele, menanam sayuran, dan memungut ayam potong mati yang difermentasi menjadi belatung. Hasil fermentasi itu digunakan sebagai ganti pakan ikan lele, karena tidak ada dana yang memadai untuk membeli pelet. Bersyukur, Lisya bersedia membantu biaya sekolah Nay. Gadis itu sudah menjelajah segala jenis pekerjaan. Ia sekarang bekerja di Taiwan, pintar berbahasa mandarin—bahasa tersulit di dunia. Pernikahan pertama Lisya juga gagal. Bayi pertamanya keluron, si suami memeloroti dia dan bermain wanita, hingga wanita itu hamil. Lisya jelas tidak sudi lagi, mau dijelaskan model bagaimana dia tegas memilih bercerai.

Satu tahun berlalu, Lisya masih sendiri. Tidak sengaja saat liburan bertemu dengan TKI yang sama-sama berasal dari Indonesia. Pria dengan rambut lurus tampan, tinggi, dan porsi tubuhnya bagus. Mereka saling berbagi cerita. Sering mengirim pesan. Saling berbagi dan keluar bersama. Sejenak mereka tidak menyadari jika saling suka. Hingga, kejadian di hotel itu yang menjadi saksi keduanya terjerembap nafsu birahi.

“Buk. Ibu.” Nay usia 9 tahun memanggil ibunya pagi itu. Sedang beberes rumah.

“Aku mau ke pondok, Bu.”

“Mau ngapain?’ balas Ziya dari kejauhan. Nay mendekat ke sumber suara.

“Mau ro’an. Bersih-bersih pondok, mumpung hari minggu.”

“Sendirian?”

“Enggak, rame, sama temen-temen juga.”

“Pokok kalau udah selesai langsung pulang.”

Nay mengangguk, bersalaman. Meloncat-loncat, berlari keluar rumah. Beruntung, jarak antara pondok dan rumah tidak begitu jauh.

Tuttt… tutt….

Langkahnya terdisktraksi. Mendengar dering benda di pinggir stop kontak. “Bu, hp ibu, bunyi.”

“Apa?”

Nay melihat ponsel yang tengah di cas itu.

“Kak Lisya telepon.”

“Bawa sini.” Gadis dengan pakaian tertutup itu mendekat, memberikan ponsel ke ibunya.

“Oh, iya, kamu belum sarapan, ya? Sarapan dulu.”

“Nggak usah, loh, Bu. Nanti aja.” Nay menggeleng. Dia takut terlambat, disangka buruk sama Ustaz.

“Sarapan atau nggak usah ke pondok?” Nada bicara Ziya naik satu oktaf.

Nay mencebil. Patuh. Membuka tudung saji.

Lihat selengkapnya