Malam tanpa Rembulan

Asya Ns
Chapter #6

Bulan Separuh Akhir

Hikmah dari kejadian itu adalah mendewasakan Nay menjadi gadis yang lebih mandiri. Dia jadi bisa mencuci sendiri, bisa menanak nasi, bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah. Karena bagaimana pun dia yang menjadi perempuan paling dewasa di keluarga itu. Mengasuh kakek dan adik saat nenek pergi. Dampaknya saat pelajaran sekolah, Nay berat mengangkat kepala karena mengantuk.

Tepat minggu kedua nenek berada di rumah sakit. Keluarga rumah dikejutkan kabar bahwa paman Nay meninggal dunia. Jangan tanya bagaimana kondisi nenek, dia tidak mau makan, tidak mau mandi, tidak mau berhenti menangis. Mengenang anak lelaki satu-satunya yang ia miliki sudah pergi.

Nay tidak pernah melihat neneknya sesedih itu. Ia tidak tega berdiam lebih lama di rumah duka. Sesak dan penuh tangisan, seperti de javu pada kisah lalu. Nay memilih membersamai sepupu-sepupunya yang naas bernasib sama dengan Mia.

Waktu terus berlalu. Waktu kelulusan SMP, Nay ingin masuk ke pondok pesantren, dia suka mengaji, tetapi oleh ibunya dilarang. Meski sampai menangis darah sekali pun, sang Ibu tetap tidak memberi restu jika dia bersikeras menimba ilmu di pesantren.

“Kamu tahu sendiri, kan? Kalau di pondok, tuh, makannya nggak teratur, tidurnya di lantai, pekerjaannya banyak. Ngaji juga pelajarannya banyak. Belum kalau kamu sambil sekolah. Memang mampu? Banyak anak yang nggak mampu, keluar dari pondok jadi orang stress, kaya’ orang gila. Mau kamu?” gerutu Ziya. Perempuan itu memutuskan pulang semenjak mendnegaar kabar adik laki-lakinya meninggal. Setelah itu dia memikirkan anak-anaknya, bertekad untuk menetap tinggal, sembari membesarkan Mia. Merasa kasihan karena gadis itu harus hidup tanpa ayah dan ibu. Bersikeras menolak ibunya pergi lagi.

“Tapi, kan nggak semua pondok kaya gitu, Buk. Lagian Arisha juga kan yang pengen, jadi kalau ada apa-apa aku sudah siap kok sama konsekuensinya.” Gadis itu dengan mata berkaca-kaca berusaha menjelaskan kepada Ziya.

“Ibuk yang nggak sanggup, Sha. Ngaji di tempat pak Ustaz kan udah sama aja toh, sama-sama ngaji.”

“Kalau gitu mondok di tempat pak Ustaz aja, deh. Gimana?”

“Sekali ibuk ngomong enggak. Tetap, eng-gak!"

Nay menghela napas panjang. “Ya sudah, deh, aku mau ke kamar dulu. Mau nge-charge HP,” haturnya meninggalkan ruangan perdebatan. Masuk ke dalam kamar, menangis.

Nay mengingat ilmu yang pernah diserapnya, bahwa apa yang dipaksakan tanpa ridho orang tua, tidak akan mendapatkan hasil yang baik. Hanya saja yang menjadi titik terendahnya adalah hancur karena keluarga. Namun, tidak diperkenankan membereskan ruangannya sendiri. Nay menahan diri dari segala hal yang memanfaatkan keremukannya sebagai alasan meninggalkan Tuhannya. Sedang, Nay. Dia menjadikan segala bentuk kehancuran jiwa adalah bentuk uji tes menjadi hamba kesayangan Allah-nya.

Senja hari ini sama dengan senja kemarin. Nay pergi mengaji di pondok, sekalian membawa adiknya.

Hari ini pelajaran akhlaq. Ilmu yang didasarkan sebagai hal yang paling penting. Seorang laki-laki paruh baya, berkumis tebal. Rambut yang tumbuh di sekitar dagu sepanjang 3-4 cm. Layaknya Yayi pada umumnya, Ustaz juga menggunakan sorban di pundah dan peci hitam di atas kepalanya yang ditengadah bungkuk oleh santri-santrinya.

“Pak Ustaz dulu mengaji itu hanya 30 persen yang benar-benar mengaji, sisanya lebih ke ta’dim dengan guru. Sekecil hal duduk di tempat guru itu tidak diperbolehkan. Pernah ada kisah, dua orang anak yang duduk di tempat guru. Satu anaknya pintar, satunya lagi biasa saja, tapi patuh. Yang benar-benar jadi ‘orang’ malah yang biasa saja. Itu namanya karomah dari guru. Mengerti?”

“Mengerti, Ustaz.” Nay bersama ke-5 temannya menjawab serentak.

“Jadi, jangan takut nggak paham, jangan takut ngaji itu sulit. Yang penting kalian berangkat yang rajin. Ta’dim, manut sama guru, insha Allah, bisa nggak bisa itu nanti menyusul. Saat kita punya guru yang sudah mau mengajari kita, ya ibaratnya kita itu budak dari kebodohan yang sudah dimerdekakan. Jadi, kita ngikut aja, mau dijual, mau diapakan, kita ikut aja sebagai hambanya,” Ustaz menambahkan.

“Dulu, Ustaz di pesantren Ustaz pernah suruh ngisi bak mandi pakai timba. Nah, posisi bak airnya itu bocor. Ustaz sudah bilang sama guru Ustaz, kata beliau, nggak papa, suruh tetap diisi aja. Jadi ya sudah, tanpa ba-bi-bu lagi, Ustaz langsung aja, tuh, isi terus. Sembari membatin, apakah mungkin penuh, kalau bawahnya mengalir terus? Tapi itu bisa, loh. Ajaibnya, air itu benar-benar bisa penuh, padahal bawahnya masih tetap bocor.”

“Astaga! Masa’ iya, Ustaz?” sahut salah seorang teman Nay antusias.

“Iya, hal seperti itu banyak terjadi di pondok-pondok. Ya, seperti sunan Kalijaga dulu, beliau kan juga pernah suruh menunggu tongkat di pinggir sungai, sampai tongkatnya itu jadi ular, sampai rumput-rumput merambati tubuhnya, beliau nggak bangkit. Ta’dim ke gurunya. Sekarang? Akhirnya beliau jadi sosok paling berpengaruh dalam persebaran islam. Satu dari sembilan sunan yang paling dihormati. Itu hanya karena ta’dim sama guru.” Ustaz melihat ke gadis yang asyik menulis-nulis sendiri. "Arisha paham?"

Merasa terciduk, buru-buru membenahi cara duduknya, dia tadi mendengarkan, hanya saja tidak ingin menatap ke depan. “Eh, iya, Ustaz, paham," jawabnya tergagap.

“Ustaz nggak seneng loh kalau ada santri perempuan bajunya di masukkan. Ustaz cemburu.” Semua murid di kelas itu tolah-toleh mencari yang dimaksud Ustaz.

Nay melihat dirinya sendiri.

“Ustaz cemburu, kalau lekuk tubuh seorang wanita bisa dilihat lebih banyak orang.”

“Izin ke kamar mandi, Ustaz.” Nay segera bangkit. Mengeluarkan bajunya yang kebesaran tadi dimasukkan ke dalam rok.

“Nah, gitu, kan lebih cantik,” puji sang Ustaz lekas Nay kembali. Malu sekali, ditatap teman-temannya.

“Sudah, istirahat dulu. Habis istirahat nanti lanjut ngaji sorogan.” Ustaz meninggalkan kelas. Disusul suara hembusan napas lega dari murid-murid lain.

“Sha, ayo jajan.” Salah satu teman kelas Nay, Mirna mengajaknya.

“Duluan aja, aku nggak bawa uang jajan.”

Huaaa! Huft huft huft. Huaaa! Terdengar suara tangisan. Keras sekali. Sesenggukan.

“Siapa yang nangis, Sha? Kaya’ adikmu?” Mirna memberitahu.

“Eh, iya?” Memasang telinganya baik-baik, segera bangkit. Menghampiri sumber suara.

“Mia! Ada apa?” Nay memeluk adiknya. Meredam tangisan.

“Dia duluan yang ngawali, Mbak Sha. Orang tadi aku nggak sengaja, kok.” Gus John menjelaskan. Dia adalah anak bungsu Ustaz.

“Kenapa, Gus? Gimana ceritanya?”

“Mereka tadi main kelereng. Terus Gus kalah nggak mau ngasih kelerengnya, sama Mia dikejar, dan nggak sengaja Gus kedorong, di dorong balik lah sama Gus, Mia sampai jatuh, terus nangis, deh.” Bocah kecil-kecil sebagai saksi mata, menceritakan.

“Ayo, Gus, minta maaf dulu sama Mia.” Mirna menengahi.

“Nggak mau, toh. Orang Mia yang salah, dia yang dorong aku duluan, kok.”

“Iya, Mia?” Nay menginterogasi adiknya. Mencabut pelukan.

“Mia loh nggak sengaja, Mbak.” Mia menjelaskan sembari menangis.

“Udah, Gus, nggak papa. Ayo minta maaf,” ulang Mirna.

Merasa dikerubungi masa, dan disudutkan. Gus juga ikut menangis, berlari masuk ke dalam rumah keluarga ndalem.

“Orang aku nggak salah, kok. Kalian tak aduin ayahku. Huft huft huft!"

Lihat selengkapnya