MENCARI HIDUP DI KOTA
Hari-hari awal di kota ibarat berjalan di atas duri.
Dewi mencoba melamar di mana saja: warteg, toko pakaian, kafe kecil.
Berkali-kali ditolak hanya karena penampilannya yang terlalu sederhana, tubuhnya yang belum terbiasa kerja keras perkotaan, dan sikap gugupnya yang kentara.
Suatu hari, seorang pemilik kafe melirik perutnya dan berkata dingin,
"Kalau kamu lagi isi, mending gak usah kerja di sini. Susah. Nanti rewel, ngeluh, bikin pelanggan gak nyaman."
Dewi pulang dengan langkah lunglai. Hujan turun deras, menempelkan bajunya ke kulit seperti penyesalan yang tak bisa ia buang.
Di kamarnya yang sempit, ia memeluk bantal dan menangis diam-diam.