Di suatu malam yang hening, saat Salma tertidur memeluk boneka usang di pelukannya, Maya duduk sendiri di depan jendela.
Angin menyapu rambutnya perlahan, dan bulan menggantung redup di langit, seolah lelah menyaksikan luka manusia yang tak kunjung pulih.
Di tangannya, masih tergenggam surat dari Dimas—telah mengering dari hujan, tapi belum juga mengering dari air mata.
“Dimas,” bisiknya pelan. “Kau tahu… aku sudah memaafkanmu.
Tapi aku tak tahu… apakah aku bisa memaafkan diriku sendiri.”
Ia menatap bayangannya di kaca, samar dan bergetar.
Antara Dewi dan Maya, antara masa lalu dan luka yang kini jadi nama baru.
“Mereka menyebutku Maya. Tapi di dalam... aku tetap Dewi.
Gadis lugu yang dulu hanya ingin dicintai dengan sederhana... bukan dipatahkan dan ditinggalkan.”
Angin malam menyusup masuk, seperti bisikan dari masa lalu.
Ia memejamkan mata, membayangkan hari ketika semuanya belum runtuh—saat ibunya masih menyuapi sarapan sederhana di pagi hari,