Langit Eropa Timur perlahan menghitam ketika kereta kuda tua melintasi jalan berbatu yang meliuk di kaki pegunungan Carpathian. Kabut tebal seperti kapas kotor bergulung di antara pepohonan pinus menjulang, menelan suara roda kereta yang berderit pelan. Di kejauhan, siluet hitam sebuah kastil menancap di puncak tebing, bagai menara pengintai yang mengawasi lembah.
Leonard Grayson, jurnalis muda asal London, duduk membisu dalam kereta. Matanya tajam menatap ke depan, mencoba menembus tabir kabut, sementara kedua tangannya menggenggam erat koper kulit berisi mesin tik portabel dan kamera box klasik kesayangannya.
Setiap detak roda kereta seakan mengiringi denyut jantung Leonard yang mulai berdebar. Di dalam kepalanya, berputar berbagai cerita yang sempat ia dengar sebelum berangkat: tentang seorang bangsawan eksentrik bernama Count Varlen yang dikabarkan hidup mengasingkan diri di puncak gunung, jauh dari peradaban, dan jauh dari waktu.
"Tak lama lagi kita tiba, Tuan Grayson," suara parau sang kusir memecah keheningan.
Leonard mengangguk singkat. "Baik. Terima kasih, Pak."
Ia menoleh ke luar jendela, menyaksikan bagaimana desa kecil Brevan perlahan muncul dari balik kabut: rumah-rumah kayu kecil, jalanan berlumpur, dan penduduk yang berbalut pakaian gelap menatapnya penuh curiga. Anak-anak bersembunyi di balik rok ibunya, sementara pria-pria tua hanya berdiri kaku sambil mengatupkan bibir.
Kereta berhenti di depan sebuah penginapan kecil yang lusuh: The Black Raven Inn. Sebuah papan kayu tua bergoyang ditiup angin, menampilkan gambar gagak dengan paruh menganga.
Leonard turun, menghela napas dalam-dalam, berusaha mengusir rasa gugup yang merayapi dadanya. Ia baru saja melangkah ketika seorang wanita tua yang membungkus dirinya dengan selendang hitam menyapanya lirih.
"Anda jurnalis dari kota?" bisiknya.
Leonard mengangguk.
"Seharusnya Anda tak datang, Nak. Di sini... ada kegelapan yang tak boleh dibangunkan."
Sebelum Leonard sempat menanggapi, wanita itu berbalik dan menghilang ke lorong sempit di antara rumah-rumah.
Suasana penginapan tak kalah suram. Hanya ada cahaya redup dari lampu minyak yang berayun di langit-langit. Seorang pria paruh baya, pemilik penginapan, menyambut dengan wajah datar.
"Kamar Anda di atas, Tuan Grayson," katanya tanpa banyak basa-basi.
"Terima kasih," jawab Leonard.
Saat menaiki anak tangga kayu yang berderit, Leonard bisa merasakan tatapan penghuni penginapan lain yang memperhatikannya penuh selidik. Ada bisikan lirih, doa dalam bahasa asing, dan simbol salib yang berkali-kali dibuat di udara.
Malam pertama di Brevan berjalan lambat. Di balik tirai jendela kamarnya, Leonard melihat bayangan kastil Varlen berdiri kokoh, menembus gulungan kabut. Suara serigala sesekali terdengar menggaung dari kejauhan, menambah nuansa menyeramkan.
Leonard menyalakan mesin tik portabelnya dan mulai mencatat kesan pertamanya. Meski kecemasan menyelimutinya, rasa penasaran jauh lebih besar. Baginya, ini bisa menjadi reportase terbesar yang pernah ia tulis kisah tentang Count Varlen yang selama puluhan tahun menolak wawancara, hingga akhirnya mengundangnya sendiri lewat surat misterius.
"Saya menantikan kehadiran Anda, Tuan Grayson. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan. — Varlen."
Surat dengan tinta merah tua itu selalu ada di sakunya.
Keesokan paginya, Leonard menyewa seorang sopir tua bernama Gheorghe untuk membawanya ke kastil. Kereta kuda kembali berderak mendaki jalanan sempit menuju puncak.
"Apa yang Anda ketahui tentang Count Varlen?" tanya Leonard di tengah perjalanan.
Gheorghe diam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara berat.
"Lebih baik saya tidak tahu apa-apa, Tuan. Banyak yang berkata ia bukan lagi manusia."
"Bagaimana maksud Anda?"