Sungai dan bebatuan. Sangat sederhana dan biasa, namun menjadi tempat yang nyaman untuk bersantai. Setelah menyelesaikan membilas cucian, Lika tak langsung pergi. Langkahnya meniti pelan pada tiap batu di dasar sungai. Menuju batu besar yang terlihat nyaman untuk di duduki sekedar melihat alam semesta.
Langit sore terlihat lebih jelas dari tepi sungai, tentunya membuat Lika merasa lebih tenang bersamaan dengan suara air mengalir ke hilir sungai. Kicauan burung semerdu nyanyian Adam membuat Lika kembali menyunggingkan senyum di bibirnya tatkala mengingat bagaimana Adam bersenandung.
"Ada dua kemungkinan yang terjadi di sana. Pertama Kamu menungguku. Dan kedua Kamu sedang memikirkanku," tutur Adam dari atas tebing sungai.
Mendengar suaranya yang lantang membuat Lika langsung menoleh dan tersenyum.
"Tidak keduanya," sahut Lika.
"Lalu? Kamu menunggu siapa dan memikirkan siapa?" tanya Adam lagi membuat Lika kembali tersenyum.
Tak lama setelah Adam muncul, ustadz Dika dan ustadz Imam pun juga ikut muncul dari balik punggung Adam. Kedua mata Lika tersentak. Mereka menuruni anak tangga sungai untuk menghampiri Lika. Hati cemas dan was-was menyatu di setiap detak jantungnya yang tak beraturan.
Ketiga lelaki itu menginjakkan kakinya di batu besar tempat Lika sedang duduk. Semakin mendekat pada Lika sampai akhirnya Lika memilih berdiri untuk pulang.
"Lika ... Mau kemana?" tanya Adam bingung. Ia turun karena ingin ikut bersantai bersama Lika.
"Pulang, cucian Lika harus di keringkan," sahut Lika.
"Kan sudah sore,"
"Tidak masalah, biar besok cepat kering,"
Adam mengangguk bete. "Baiklah. Pulanglah," suruh Adam.
"Assalamualaikum," ucap Lika. Ketiga lelaki itu menyahut bersamaan dengan pandangan masih tertuju pada Lika.
Srrtttt ....
"Ooo ... Astaga," pekik Lika hampir terpeleset jika saja tangan nya tak langsung meraih lengan orang yang ada di dekatnya.
Lengan kekar yang Lika tangkap saat dirinya hampir tercebur ke sungai membuat hatinya tersentak. Pandangan Lika menatap sekilas wajah lelaki yang membantunya itu. Ia menyadari satu hal bahwa takdir itu tak akan pernah melewatkannya.
***
Pukul 8 malam para ustadz dan ustadzah pengajar mengaji berkumpul di aula pengajian. Sebelum diskusi mingguan di mulai, masing-masing masih sibuk berbincang dari satu hal ke hal lainnya.
Sedikit berbeda dari Ana dan Lika. Mereka berdiri dalam ketenangan menatap langit dari balik jendela aula pengajian. Menatap tumpahan ribuan bintang di langit dan satu bulan sabit yang melenhkun sempurna di tengah pekatnya malam.
Sapuan angin malam membuat Lika merengkutkan tubuhnya yang terasa dingin. Mataya tak sengaja melihat yang tak seharusnya ia lihat.
Ustadz Imam berdiri di dekat jendela. Saat mendapati Lika sedang memandangnya, ustadz Imam memberikan senyuman ramah dan berlalu pergi ke depan aula.
"Lika ..." panggil Ana tiba-tiba.
Lika menoleh. "Apa yang paling indah dari malam?" tanya Ana mengalihkan pandangan nya pada Lika.
"Bulan?" jawab Lika. Ana menggeleng.
"Bintang?" tetap saja jawaban Lika di tolak oleh Ana.