Terlalu di pikirkan semakin semakin membuat Lika semakin kebingungan. Bukan maksud Lika menolak ustad Imam tapi Lika tidak tahu apa yang terjadi. Hal apa yang pernah ia janjikan pada ustadz Imam di masa lalu.
“Lika lagi ngapain?” Tanya Ana tiba-tiba muncul dari balik jendela.
Lika tersentak refleks menoleh Ana yang muncul di balik jendela.
Lika tersenyum. “Ayo masuk Na,” ajak Lika sembari membukakan pintu belakang rumahnya.
Ana langsung masuk dan duduk sambil menyomot beberapa potong wortel yang ada di meja. “Aku ingin memperjelas penglihatanku,” tutur Ana tertawa malu.
Lika mengangguk dengan senyum tipis.
“Assalamualaikum …” muncul sosok mengangetkan dari balik jendela membuat Ana dan Lika tersentak kaget menoleh bersamaan.
“Waalaikum salam,” sahut mereka bersamaan.
Mata Adam tak kalah kagetnya melihat Ana juga ada di sana. Ingin mundur tapi tidak enak karena sudah terlanjur menyapa mereka.
“Kenapa mereka suka sekali menjenguk ku lewat jendela?” batin Lika.
Adam masih berdiri di depan jendela membuat Lika berjalan mendekatinya. “Kamu. Mau apa lagi kesini?” tanya Lika membuat Ana kembali menampakkan wajah kebingungan.
"Sabar Adam ... Sabar ..." gumam Adam menahan dirinya untuk tidak berkata kasar seperti beberapa hari yang lalu.
Memang,tak mudah menerima semua yang terjadi sekarang. Tak hanya Adam yang kebingungan tapi Lika pun juga sama. Terkadang ada rasa penasaran menjelma di pikiran Lika. Tentang apa yang pernah terjadi dan apa yang belum pernah di laluinya.
Adam masuk ke dalam rumah menuju tempat duduk yang jauh dari Ana dan Lika. Dari kejauhan, Adam melihat Lika yang masih asyik berbicara dengan Ana. Meskipun Lika tampak berbeda, nyatanya hal itu tetap membuat Adam merasa terabaikan.
“Ana ... Bisa bantu ambilkan sendok?” pinta Lika.
"Siap kapten," sahut Ana membuat Lika tertawa kecil mendengarnya.
Langkah Ana mulai kaku saat mendekat pada Adam. Pandangan mereka bertemu untuk beberapa detik lamanya sebelum Adam memalingkan pandangan nya ke arah lain.
Pranggg …
Sendok berserakan di lantai karena pikiran nya terus bergumam nama Adam dan Adam. Kedua mata Ana tercengang kaget. Ia langsung memungut satu persatu sendok yang jatuh di lantai dengan gesit.
“Awww …” pekik Ana mencengkram telunjuknya.
Sebuah pisau kecil yang terselip di antara tumpukan sendok menggores jari Ana sampai mengeluarkan darah.
Adam yang semula berusaha untuk tidak menghiraukannya langsung menoleh. Wajah kaget Adam terlihat nampak jelas tatkala mendapati Ana sedang terluka.
“Lika tangan dia berdarah,” ucap Adam membuat Lika langsung berjalan mendekati Ana.
Lika bergegas mengambilkan obat merah ke dalam kamarnya dan kembali beberapa saat kemudian.
“Kamu obati dia,” pinta Adam.
“Aku takut luka. Kamu saja” sahut Lika.
“Tidak apa-apa. Aku bisa sendiri kok,” sahut Ana cepat mengambil obat merah yang ada pada Lika.
“Lika ke depan sebentar nak bantu Ibu,” panggil Ibu membuat Lika bergegas pergi ke depan.
Adam masih tetap diam. Sesekali ia melihat Ana yang masih kesulitan mengobati luka nya. Ada rasa kasihan ingin membantunya tapi Adam tidak boleh terlalu berlebihan pada Ana. Namun tetap saja Adam tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari Ana. Pikirannya merasa terganggu dengan luka yang ada di tangan Ana.
“Biar Aku bantu,” tutur Adam.
Adam meraih obat merah dan meneteskan nya beberapa tetes di luka Ana. Wajah Ana sedikit berkerut karena nyeri obat merah yang langsung meresap ke lukanya.
“Lain kali hati-hati jangan sampai terluka lagi,” pesan Adam membuat Ana mengangguk paham. Wajah Adam berada cukup dekat dengan Ana.
Sesekali Ana melihat wajah Adam yang penuh ketenangan itu dengan rasa senang dan bersyukur. Cukup Adam saja, dan ia sangat bahagia jika bisa menghabiskan sisa waktu hidupnya bersamanya. Mungkin belum waktunya tuhan mempertemukan takdir mereka namun Ana tetap berdoa Adam lah yang pertama dan terakhir untuknya.
Do'kan saja dulu, masalah bersama atau tidaknya biarlah Allah yang menentukan.
Lika yang baru kembali dari depan melihat Adam sedang membalutkan perban di jari Ana. Lika tertegun melihat mereka berdua. Tak seperti dulu, Lika tak memiliki banyak komentar saat melihat Adam dan Ana bersama.
“Ayo kita makan siang dulu,” seru Ibu sambil membawa beberapa empal jagung yang baru saja Ibu beli.
Lika menyusun piring dan gelas serta menaruh kuah di bagian tengah meja. Tak lupa kerupuk nasi yang renyah selalu menjadi lauk yang wajib ada saat makan.
“Ehh ada Ana juga toh rupanya. Kamu ikut makan juga ya,” ajak Ibu membuat Ana langsung mengangguk setuju.
Siang ini seperti biasa Ana dan Lika harus pergi ke aula pengajian. Kali ini Lika kembali pergi bersama Ana untuk menjumpai lelaki yang igin ia temui sejak kemarin. Sampai di aula pengajian akhirnya Lika menemukan ustadz Dika sedang berjalan memasuki aula.
Pandangan senang Lika langsung tertunduk malu mendapati ustadz Dika yang sudah ada di dalam.
“Astaghfirullah,” pekik Lika hampir bertabrakan dengan ustadz Dika yang ingin keluar dari aula. Kedua mata Lika mendapati wajah tampan ustadz Dika ada di hadapannya.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya ustadz Dika kaget.
Lika mengangguk tanpa menyahut dan langsung masuk ke dalam aula. Jantung Lika benar-benar hampir copot, kedua tangan nya pun tidak hentinya berkeringat basah.
“Hampir saja kamu menabrak rejeki nomplok," bisik Ana terkekeh.
“Bukankah dia sudah masuk? Kenapa harus keluar lagi? Hampir saja Aku menabraknya,” batin Lika masih sesikit syok.
"Itu dia. Calon istri ustadz Dika," tujuk Ana pada salah satu ustadzah yang ada dalam kerumunan ustadzah lainnya.