Dengan mengucap basmallah MTQ pada hari ini pun resmi di buka. Mulai dari perlombaan kaligrafi, nasyid, rebana, marawis, tausiah singkat, tartil dan tilawah turut serta memeriahkan acara MTQ tahun ini. Acara puncaknya akan di hadiri para qori dan qori’ah terbaik se nusantara dan para pendakwah ternama salah satunya ustadz nyentrik yang disukai para anak-anak sampai ibu-ibu dengan panggilan terkenal ustadz Yamud dari kota serambi Mekkah Aceh.
Beberapa langkah dari belakang panggung terlihat Lika sedang berdiri sambil memegang selembar kertas dengan sangat serius. Dari depan panggung tepatnya di antara para tamu terdapat sosok yang tak bisa berhenti memandang Lika sambil sesekali ikut berbaur dengan orang di sekitarnya.
Itu ustadz Dika yang terbius dengan keanggunan Lika karena bisa mengubah gamis sederhana menjadi mewah saat ia yang memakainya. Dipadu dengan jilbab syar’i berwarna senada membuat Lika semakin menawan di matanya.
Beberapa detik kemudian pandangan ustadz Dika harus terhenti saat ustadz Fa’iq datang memanggilnya di waktu yang tidak tepat.
“Ustadz … di panggil bagian konsumsi,” tutur ustadz Fa’iq setengah berlari menuju bagian tamu.
Untuk hari pertama memang sangat sibuk sampai semua ustadz dan ustadzah baru bisa beristirahat setelah adzan zuhur berkumandang. Sebagian pergi ke mesjid dan sebagian sedang menyiapkan untuk acara habis zuhur.
Ana tersandar di belakang panggung sambil mengipas wajahnya dengan kardus botol air mineral. Tak jauh dari Ana, ada seseorang yang masih sibuk memegang pulpen dan kertas sambil sesekali menggigit tutup pulpennya.
Menulis dengan teliti tanpa melewatkan apapun, itulah kebiasaan Lika.
“Aku ingin ke mesjid dulu, bisakah kamu menjaga catatan ini untukku?” tanya Lika pada Ana. Tampak ragu namun Lika tetap harus menitipkannya pada Ana karena tak ingin catatan nya tercecer di mesjid.
Tanpa ditanya pun Ana pasti mau. Dan pula ia juga penasaran apa saja yang Lika catat sampai ia sangat fokus tak banyak bicara seperti yang lainnya.
Setelah menitipkan pada Ana, Lika bergegas menuju mesjid karena ia hanya ounya waktu 30 menit sehingga membuat nya harus buru-buru pergi.
Tiba-tiba tak ada angi tak ada hujan terlintas di benak Ana, jika saja ustadz Adam juga turut hadir pasti akan sangat membahagiakan. Jadi tamu pun tak masalah asalkan wujudnya bisa Ana lihat meski hanya 5 detik lamanya. Namun ustadz Adam juga memiliki kesibukan di pesantren tanpa bisa hadir di acara MTQ.
Lika baru kembali dengan langkah terburu-buru. 10 menit lagi acara dimulai namun Lika tak melihat wujud Ana. Bahkan untuk makan siang saja Lika tak sempat karena harus segera mengambil catatan yang ia titipkan pada Ana.
“Lika … Lomba Nasyid dan dan marawis mulainya jam berapa?” tanya ustadzah Fatima.
“Jam 4 sore untuk Marawis dan dilanjutkan habis Isya lomba Nasyid,” jelas Lika yang langsung di anggukan oleh ustadzah Fatima di bagian tamu.
“Kemana Kamu Ana??” gumam Lika mengelilingi sekitaran panggung yang berukuran 50x50 meter persegi dengan puluhan tenda besar yang berdiri di sepanjang lapangan desa Titisan.
Sampai di tepi lapangan dekat ruang konsumsi terlihat seseorang sedang makan dengan lahapnya. Lika buru-buru menghampiri Ana tanpa ingin membuang-buang waktu.
“Assalamualaikum …” ucap Lika memasuki ruang konsumsi.
“Waalaikumsalam ...” sahut mereka serempak.
Terlihat semua pengurus di ruang konsumsi sedang sibuk tak terkecuali Ana yang duduk di depan ruangan tanpa penutup sambil menikmati nasi kotak porsi komplit.
“Lika … Kamu belum makan kan? Ini lebih baik makan dulu,” tunjuk ustadzah Marwa pada tumpukan nasi kotak di meja.
“Terima kasih ustadzah … Nanti saja. Lika lagi terburu-buru,” tolak Lika dengan sopan.
Ustadzah Marwa mengangguk sembari tersenyum. “Jangan lupa makan ya,” pesan ustadzah Marwa yang langsung di anggukan oleh Lika.
“Catatanku mana?” tanya Lika pada Ana.
Ana terdiam sesaat. Kedua matanya membulat penuh menatap Lika. “Sebentar …” ucap Ana menggeledah saku bajunya.
Wajah Lika berubah panik karena Ana tak menemukan catatnnya. Itu catatan penting yang di tugaskan oleh ustadz Dika pada Lika. Ia di amanahkan untuk menjaga semua yang ia catat tanpa melupakan atau menghilangkannya.
“Ada??” tanya Lika.
Wajah Ana menjadi gelisah dan merasa sangat bersalah setelah melupakan catatan itu. Dari saku baju sampai dalam tasnya pun sudah ia geledah namun tak ada.
Ana bergegas menuju belakang panggung. Tempat terakhir ia bertemu dengan Lika. Meneliti satu persatu setiap sisi di belakang panggung bersama Lika namun mereka tak menemukannya.
“Astaghfirullah gimana dong Lik? Aku memang teledor!Kenapa bisa menghilangkan kertas itu di saat-saat seperti ini!” pekik Ana sangat menyesal.
“Kamu ingat di mana saja mampir sebelum menuju ruang konsumsi?” tanya Lika.