Pagi di desa Titisan dengan kicauan burung yang berbyanyi riang. Semburan angin pagi menyapu dedaunan yang berembun. Daun kuning dan kering mulai berjatuhan di setiap sisi jalan. Menandakan musim panas akan segera menyapa desa.
“Lika. Assalamualaikum …” panggil Ana dari belakang rumah.
"Waalaikim salam," Lika bergegas memakai jilbabnya dan berlari keluar. Namun Ana langsung menghentikannya. "Di dapur Mba Lika,"
“Kenapa Kamu senang sekali lewat pintu belakang? Padahal pintu depan terbuka lebar,” tutur Lika sembari membukakan pintu.
“Kebiasaan yang sulit di ubah,"
“Terus Kak Adam? Kenapa dia sangat mirip denganmu?"
"Karena Kami adalah takdir yang terpisahkan," sahut Ana dengan pedenya. Baru saja di bicarakan, ia sudah muncul di jendela. “Assalamualaikum,” sapa Adam sembari menyibak gorden jendela Lika.
“Waalaikum salam,” sahut Ana dan Lika bersamaan.
“Aku tidak akan mampir, hanya memberikan pesan dari Kyai Sula untuk mengundang para warga sehabis zuhur ini akan ada hajatan di rumah Kyai, harap datang. Sekalian Bilang sama Ibu,” jelas Adam tanpa melewatkan satu hal pun.
“Ana tidak di undang ya ustadz?” tanya Ana membuat Adam terlihat gugup.
“ Aaa … Kamu sudah Aku titipkan pada Bapakmu,” sahut Adam kaku.
Ana dan Lika saling menatap bingung mendengar perkataan Adam yang terasa janggal.
“Memangnya Kak Adam minjam Ana ya? Kapan?? ...” tanya Lika bingung.
“Astaghfirullah, sudahlah yang penting kalian nanti siang datang saja. Assalamualaikum,” ucap Adam berlalu pergi tanpa mendengarkan sahutan dari Ana dan Lika.
Wajah Adam terlihat jelas sangat malu mendengar mulutnya sendiri mengatakan hal itu. Dari balik jendela Lika memperhatikan Adam beberapa kali menepuk pecinya. Kebiasaan Adam saat menepuk peci berarti dia sangat malu batin Lika.
Kedua sudut bibir Ana terangkat membentuk lengkungan manis di wajah ovalnya. Sembari melirik Lika yang menahan senyumnya untuk tidak membuat Ana semakin senang.
“Aku akan datang ke rumah Kyai Sula,” tutur Ana masih menampakkan senyum di wajahnya.
“Aku akan menjemputmu nanti,” sahut Lika mengacungkan jempol kanan nya.
Ana mengangguk setuju. “Sampai bertemu nanti siang Lika, Assalamualikum,” ucap Ana sembari berlalu pulang.
Baru mampir beberapa menit yang lalu, tiba-tiba Ana pergi lagi. Terlihat jelas raut bahagia di wajah Ana. Setiap hari Ana terlihat sangat bahagia. Lika juga turut senang saat Ana senang.
***
Ana, Ibu dan Lika sudah hampir tiba di dekat rumah Kyai sula. Mobil-mobil berjejer di setiap sudut jalan. Sampai di halaman rumah Kyai Sula, semua warga sudah berkumpul untuk menunggu Mayla yang masih di jalan menuju desa Titisan.
“Ibu mau ke depan sana dulu, mau ikut para Ibu-Ibu yang lain. Kamu sama Ana di sini saja sama yang lain,” tutur Ibu yang langsung di anggukkan Ana dan Lika.
“Ka ... Likaa kamu lihat ustadz Adam tidak?” tanya Ana dengan pandangan yang tidak hentinya menatap kerumunan warga.
Lika juga ikut mencari Adam dengan pandangan mata jelinya. Barangkali Adam terselip di antara para warga yang memenuhi halaman rumah Kyai Sula yang luas itu.
“Itu siapa?” tunjuk Lika memberi isyarat pada Ana dengan kedua bola matanya yang melirik ke sebelah kiri Ana.
“Astaghfirullah,” pekik Ana saat berbalik hampir menabrak wajah Adam yang hanya berjarak 5 jengkal dari pandangannya. Wajah kaget Adam pun juga terlihat jelas dengan langkahnya yang mendadak bejalan mundur. “Kalian sudah makan?” tanya Adam tergesa-gesa.
“Belum,” sahut Lika santai.
“Makan sekarang atau makan setelah acara marawisnya selesai, Kalau mau sekarang langsung ke tenda dan ambil makanan nya. Aku tidak bisa membantu karena sangat sibuk,” jelas Adam berlalu pergi.
“Pasti dia sangat lelah, lihat keringat di celah peci putihnya,” tutur Ana memperhatikan Adam yang berlari kecil dengan bercucuran keringat di wajah tampannya.
"Kenapa tidak Kamu bantu? Bukannya Kamu suka sama dia?” sambar Lika cepat.
"Kamu mau Aku di geruduk massa gara-gara bantu ustadz Adam?"
"Kan cuma bantuin, nggak yang aneh-aneh juga, kan?"
"Kamu tahu yang suka sama dia siapa aja?"
Lika menggeleng penasaran. "Memang siapa?"
"Kanaya Anak Pak Lurah, Zyara perawat di puskesmas, Naura yang suara mengajinya sangat merdu mengiang-ngiang di telinga, Lalu Fahrana si gadis cina berwajah semulus ubin mesjid, Dan ustadzah Gina yang mengajar di pesantren. Itu baru yang Aku kenal. Belum lagi yang tak ku kenal. Harusnya Kamu bilangin dia jangan selalu ramah pada setiap wanita yang ia temui, karena hati wanita serapuh keripik kentang saat ustadz Adam mengajak bicara,"
Lika tertegun diam mendengar Ana menjelaskan nya di tengah kerumunan warga. Ia tak menyangka Ana berbicara sepanjang itu. Sedikit lebih panjang lago, Ana bisa menjadi pejuang emansipasi wanita berikutnya.
Lika tersenyum senang mendengar celoteh cempreng Ana. Biasanya Ana selalu tenang dan santai, tapi kali ini sangat berbeda. Aura semangat yang membara muncul setelah menyebutkan satu persatu wanita yang mendekati Adam.