Ba’da isya Lika pergi ke aula pengajian karena ustadz Dika meminta para ustadz dan ustadzah untuk berkumpul. Ia sudah mencoba menghubungi Ana, tapi ia tak menjawab panggilan Lika.
Menaiki sepeda kesayangannya, Lika menyalakan lampu depan untuk menerangi jalan gelap yang akan ia lewati. Meski terlihat sudah butut, Lika tetap menyayangi sepedanya.
“Aku sudah berjanji tidak akan menggantimu. Sekalipun kamu sudah sangat tua,” gumam Lika mengajak bicara sepedanya.
Terkadang ada takut dan merinding setiap kali melewati tempat yang sepi. Sering sekali Lika mendapatkan cerita horor dari Adam. Akhir- akhir ini Adam lebih sering menceritakan pengalamannya selama di dalam pesantren.
Meski sudah menjadi pengajar di sana hampir 5 tahun lama nya bukan berarti ia sudah terbiasa dengan kehadiran mahluk lain di dalam pesantren, terutama di belakang asrama para ustadz. Ada 5 buah pohon mangga yang menjulang tinggi. Setiap tengah malam selalu terdengar langkah kaki di belakang asrama namun saat di periksa tak ada satupun orang. Bahkan sebagian ustadz yang berjaga sampai subuh tidak bisa menemukan siapa pemilik suara langkah kai misterius itu.
“DARR …” Adam muncul dari balik pohon kelapa. Sepeda Lika oleng dan terjatuh di jalan. Beruntung Lika langsung melompat sehingga ia tak ikut jatuh.
“Aa … Eee …Ku … Ku kira Kamu tidak akan jatuh,”
“Kak Adam!! …”
“Maafkan Aku Lika. Au benar-benar tidak sengaja,”
“Antar Lika ke aula pengajian,”
“Dengan dia?” tanya Adam menunjuk sepeda Lika yang masih tergeletak di jalan.
“Terus mau pakai becak? Yaiyalah pakai sepeda!”
“Kamu mau tau niatku yang sebenaarnya?”
“Tidak perlu. Cepat antar Lika dengan sepeda,” sahut Lika menolak tegas penjelasan Adam.
Akhirnya dengan ketidak ikhlasan Adam tetap mengantar Lika. “Padahal Aku sedang menunggu Ana. Tapi dia tak muncul, dan Aku melihat Kamu lewat. Awalnya Aku tak ingin membuat masalah denganmu, tapi semakin Kamu mendekat bisikan di telinga kiriku semakin mendesakku untuk mengejutkanmu,”
Bukan marah apalagi kesal. Lika tersentak kaget. Apakah ia yang salah dengar atau Adam yang salah bicara. Bahkan Lika tak pernah lagi mendengar Ana menceritakan tentang Adam padanya.
“Untuk apa menunggunya?” tanya Lika penasaran.
“Janji Kamu tidak akan bilang pada Ana,”
“Memangnya ada apa?” tanya Lika semakin penasaran.
“Kamu tahu ustadz Fa’iq?”
“Hemhh,”
“Dia suka sama Ana. Dan menyuruhku untuk memberikan suratnya pada Ana. Awalnya Aku ingin menitipkannya padamu tapi akhir-akhir ini Kamu sangat sibuk dan kulihat Ana juga jarang mapir ke rumah,”
“Kak Adam nggak marah?”
“Untuk apa marah?”
“Kak Adam kan suka sama Ana,”
“Ngaco Kamu. Bnagun Lika, jangan tidur mulu. Sejak kapan Aku suka sama Ana?”
“Tapi Ana bilang—“
“Bilang apa?”
Akhirnya Lika mengerti apa yang terjadi. Seketiaka ia meratapi betapa malangnya nasib temannya itu saat cintanya bertepuk sebelah tangan. Ana sendiri yang bilang kalau mereka adalah jodoh. Ana selalu melihat Adam dengan tatapan berbeda tapi Adam hanya menganggap Ana teman biasa.
“Malangnya nasibmu Na. Ternyata cintamu bertepuk sebelah tangan,” batin Lika berdecak.
“Bilang apa dia?” tanya Adam lagi.