Suasana seputaran jalan dekat pesantren sangat ramai. Para warga sedang bergotong royong untuk persiapan warung amal. mulai dari membesihkan mesjid, menebang dahan pohon yang menghalangi jalan sampai mengecat batang pohon di setiap sisi jalan.
Tak hanya para warga, para santri dan santriwati pun juga turut bergotong royong di dalam pesantren guna menjaga kebersihan lingkungan.
Ana dan Lika berada di halaman mesjid dengan sapu lidi dankantong sampah. Para Ibu-ibu sibuk memasak untuk makan siang bersama para warga yang sudah menjadi tradisi di desa Titisan.
“Lihatlah mereka. Dulu saat seumuran mereka, kita tak pernah ikut bergotong royong. Sekarang anak-anak tahu seberapa pentingnya kebersihan lingkungan,”
Lika mengangguk sependapat dengan Ana. Ia menyadari dulu mereka hanya berpikir untuk bermain dan bermain. Melihat betapa majunya desa Titisan sekarang, membuat Lika merasa sudah banyak waktu yang terlewatkan. Dirinya semakin menua seiring waktu berlalu.
“Lihat … Bidadari sedang tersenyum,” Ana menunjuk ke seberang jalan dengan serok yang ada di tangannya. Menunjukkan sosok Mayla yang sedang memberikan sabun cuci tangan untuk anak-anak.
“Aura seorang dokter memang beda, ya …” tutur Lika juga terkagum melihat betapa bersahajanya sosok Mayla yang juga ada di antara mereka.
Tak berselang lama, ustadz Imam berjalan ka arah Mayla. Melihat kehadiran ustadz Imam membuat Mayla langsung tersenyum.
“Apalagi pesan kali ini?” tanya Mayla dengan wajah cemberut.
Ustadz Imam tersenyum kecil. “Kyai berpesan agar Kamu jangan terlalu kelelahan,”
“Mayla juga punya pesan,”. “Ustadz jangan capek-capek nanti berakhir di Mayla loh,” candan Mayla membuat ustadz Imam kembali tersenyum kecil. Menjadi seorang dokter muda yang cantik tentu membuat siapaun ingin mendapatkan perawatan dari Mayla.
Dari seberang jalan, Ana terus memperhatikan mereka tanpa berkedip. Sesekali Ana menyenggol Lika untuk ikut memperhatikan mereka.
“Kenapa dia tersenyum seperti itu?” tanya Lika.
“Itu dia yang Aku bingung. Kenapa Mayla semakin dekat dengan ustadz Imam?”
“Bukan. Tapi mereka,” tunjuk Lika pada Rumi dan ustadz Dika yang saling membantu mengangkat plastik sampah. Sesekali mereka saling melempar senyuman dibarengi kantong sampah yang terbang ke mobil pengangkut sampah.
“Mereka memang selalu ramah seperti itu,” sahut Ana dengan santainya.
Wajah Lika menjadi sedikit murung karena bukan dia yang berada di sana. Setelah menyelesaikan pekerjaan. Ana dan Lika pergi ke tempat Mayla untuk meminta sabun cuci tangan.