Mamah, Panda Ingin Sehat

Ita Mutiara Dewi
Chapter #1

Prolog

Sabtu, 27 April 2024, Surat Sakti Dokter Nugroho

Aku duduk sambil termenung, melihat foto diriku sendiri di cermin yang tidak seperti orang normal pada umumnya, memang besar terutama perutku dan bemperku. Lemak-lemak ada di seluruh tubuhku. Barusan kutimbang berat badanku tembus di angka 230kg. Sudah beberapa hari, aku sakit kepala, tensiku 160/100, tergolong tinggi. Beberapa hari ini aku susah duduk, jongkok, berdiri apalagi berjalan. Belum lagi sesak nafas, asmaku kambuh.

***

“Bu, hari ini aku mau kontrol ke dokter penyakit dalam, dokter Nugroho, ujarku” “Ok, yah kudaftarkan,” jawab Bu Ita. Aku memanggilnya Bu Ita, meskipun ia adalah istriku, bukan langsung namanya, Ita, bukan pula Dik Ita, karena pernah aku panggil namanya langsung maupun kupanggil Dik Ita, 2 jagoanku, Mas Ilmy dan Adik Hafidz, yang masih kecil-kecil spontan ikut-ikutan memanggilnya Ita dan Dik Ita, ya maklumlah…. anak-anak masih belum paham. Apalagi kita orang Indonesia, bukan orang Londo yang manggil nama orangtuanya langsung ok ok saja…

Jari-jari Bu Ita dengan sigap memencet HP untuk WA ke pendaftaran Rumah Sakit Kabupaten, tempat dokter Nugroho praktek. “Dapat no. 24, Yah. Nanti kita berangkat jam 13, dokternya praktek jam 13 - 15”, kata Bu Ita. “Ok, Bu.” Jawabku. Ayah Andre, itulah panggilan Bu Ita kepadaku, bukan Andre atau Mas Andre saja karena alasan yang sama, 2 jagoanku menirukan memanggil Andre dan Mas Andre, wkwkwk...

Bu Ita hari ini pas libur, tidak mengajar. Ia memandikan Mas Ilmy dan Adik Hafidz. Lalu memasak di dapur dan menghidangkan makanan untuk kami semua. Setelah kami selesai makan, ia membereskan peralatan makan dan mencucinya. Lalu mencuci baju dan menjemurnya, kebetulan Mbak Rus, Asisten Rumah Tangga kami sedang tidak datang karena ada hajatan di rumah saudaranya. Sedangkan, aku bermain dengan anak-anak sampai terdengar adzan dhuhur. “Mas Ilmy, Adik Hafidz, ambil wudhu, ayo sholat” kataku… “Nanti Yah, jawab mereka berdua serentak. “Ayo Mas dan Adik, jam 13 kita harus berangkat ke RS Kabupaten, nanti dokternya tutup lho”, kataku. “Setelah ke RS, kita ke rumah Mamah”, kataku. “Siap Yah,” Jawab Mas Ilmy, “Siap Yah” Adik Hafidz menirukan. Mamah, adalah panggilanku ke Ibuku, namun kedua jagoanku juga sama memanggilnya Mamah, tak mau memanggilnya Uti atau Yangti. Kedua jagoanku sangat suka jika liburan ke rumah Mamah.

Setelah sholat dhuhur, makan, ganti baju. Bu Ita membuka garasi dan mengeluarkan motor ke teras rumah lalu menutup garasi dan membuka pagar rumah. Aku berjalan menuju teras disusul oleh Ilmy dan Hafidz. Bu Ita menutup pintu ruang tamu. Aku naik motor keluar pagar, Ilmy naik di boncengan depan. Bu Ita menggandeng tangan Hafidz lalu menutup pagar. Lalu ia menggendong Hafidz dan membonceng di belakang. Kami sering kemana-mana naik satu motor berempat. Aku tidak mengijinkan istri dan anakku naik motor sendiri karena aku takut istri dan anakku kecelakaan di jalan. Peristiwa traumatik kematian ayahku menyebabkanku phobia untuk membiarkan istri dan anakku naik motor sendiri.

Aku melajukan sepeda motor ke rumah Mamah untuk menitipkan anak-anak. “Kami titip anak-anak dulu ya Mah, nanti pulang dari Rumah Sakit aku jemput lagi.”ujarku. “Kami pamit dulu ya Mah, tambah istriku.” Lalu aku melajukan motorku ke Rumah Sakit Kabupaten yang jaraknya hanya sekitar 2km dari rumah Mamah.

Ruang tunggu di Rumah Sakit Kabupaten siang itu penuh sesak. Suara-suara batuk, desah napas berat, dan derit kursi yang digeser terdengar silih berganti. Di tengah keramaian itu, aku duduk di kursi besi dengan rasa gelisah yang sulit kujelaskan. Hari ini aku ada janji dengan Dokter Nugroho, spesialis penyakit dalam yang terkenal ramah dan telaten dalam menangani pasiennya.

Aku sudah sering bertemu dengan beliau untuk mengontrol kondisi asmaku. Tapi kali ini, aku datang dengan keluhan berbeda. Asmaku memang sudah jarang kambuh, tapi ada masalah baru yang membuatku khawatir: tensiku selalu tinggi, mencapai 160/100 bahkan kadang 160/120. Selain itu, kedua kakiku sering bengkak tanpa alasan yang jelas. Ini bukan sekadar masalah berat badan lagi, pikirku, tapi mungkin ada sesuatu yang lebih serius.

“Pak Andre?” panggil perawat di pintu ruang praktik. Aku segera berdiri, sedikit gugup namun lega akhirnya giliranku tiba. Aku dan Bu Ita masuk ruangan. Lalu perawat bilang, saya cek tensinya dulu ya Pak. Baik suster. Tensinya agak tinggi ya Pak, 160/120, kata perawat. Iya sus, saya tadi cek tensi di rumah juga sama sus. Beratnya Pak Andre sekarang berapa? 230 kg sus. Suster bertanya berat badanku yang mengalami obesitas, karena di rumah sakit tersebut tidak ada timbangan badan diatas 180kg, sehingga aku selalu diminta menimbang badan dulu sebelum periksa.

Lihat selengkapnya