Mamah, Panda Ingin Sehat

Ita Mutiara Dewi
Chapter #2

Bab 1: Dua Ratus Tiga Puluh Kilo (230 Kg) ?


Aku adalah orang yang berbahagia dari surat sakti dokter Nugroho. Aku ingin menceritakan perjalanan hidupku dengan berat badanku yang pernah normal 65kg namun kemudian menjadi gemuk hingga 230 kg pada 5 Juni 2024. Saat ini, 31 Oktober 2024, berat badanku 196 kg. Aku berhasil turun 34 kg dalam tempo 5 bulan kurang. Perjalananku untuk menjaga kesehatan dan menuju berat badan ideal masih cukup panjang, aku harus mengurangi 121 kg lagi agar berat badanku ideal 75kg dan penuh massa otot.

Aku menjalani program kesehatanku tanpa operasi usus (bariatrik) maupun tanpa minum obat diet yang diresepkan dokter atau klinik kesehatan—yang berfungsi menahan lapar dan membakar lemak dua kali lipat ketika berolahraga. Apalagi obat suntik yang fungsinya sama: menahan lapar, membakar lemak dua kali lipat ketika berolahraga serta mengatasi kulit menggelambir akibat penurunan berat badan yang terlalu drastis. Yang kulakukan hanya menjaga pola pikir agar tidak stress dan bisa berdamai trauma masa lalu serta tidak overthinking, mengembalikan sesuatu yang masih dalam area yang kita usahakan maupun bisa berdamai dengan area yang merupakan takdir seperti rezeki, jodoh dan ajal. Menjaga pola jiwa dengan mengelola kemarahan atau memiliki anger management yang lebih baik, sehingga ketika marah, emosiku tidak meledak-ledak sampai lari ke makan yang tidak terkontrol. Menjaga pola makan dengan diet full protein dan sayuran, rendah minyak dan karbohidrat atau yang biasa disebut intermitten fasting (IF) dan defisit kalori (DK). Lalu, rajin olahraga cardio dan angkat beban, hal ini kulakukan dengan senam, jalan kaki semampunya (karena kaki dan lututku masih sering sakit untuk berjalan), dokter tidak menyarankan aku olahraga full jalan kaki apalagi lari karena resiko cedera kaki dan lutut yang mengangkat beban alias bodyku yang diatas 200kg, berjalan dan senam di dalam kolam renang, berenang, workout di rumah maupun di pusat kebugaran (gym). Last, but not least, selalu memohon doa, restu dan ridho dari ibuku, Mamah Budi tersayang agar program kesehatan dan penurunan berat badanku berhasil. Namun tak lupa, aku juga meminta doa restu dan ridho dari Mamah Bari, ibu mertuaku juga agar programku berhasil dan bisa kembali bertanggung jawab mencari nafkah untuk anaknya dan cucunya.

***

Akun Instagram-ku @pandainginkurus dan tiktokku @langkahkebaikan tentang aktivitas olahragaku viral beberapa waktu ini, bahkan kisahku diliput dan ditayangkan di salah satu stasiun TV Nasional pada lebaran Haji tahun ini, 17 Juni 2024. Tayangan itu berkisah tentang langkah olahraga mandiriku yaitu senam keprek handuk—senam dengan mengibas-ngibaskan handuk, wushu, angkat beban, serta menjaga pola pikir dan pola jiwa yang memberikan dampak baik bagi kesehatan dan penurunan berat badan.

***

Namaku Andri Kusuma Budi Purnomo (AKBP) singkatan ini seperti jabatan di Polri saja. Awalnya, ayah dan mamah memanggilku Andri, tapi teman-teman lebih suka memanggilku "Andre." Mereka pikir nama itu terdengar lebih keren, tidak ndeso, lebih pas untuk orang sepertiku. Akhirnya, keluargaku dan teman-teman memanggilku Andre. Di sisi lain, ada juga panggilan lain yang sedikit lebih unik dan lebih personal—"Panda." Sebuah panggilan yang memiliki sejarah panjang, penuh kenangan sejak aku masih kecil.

Awalnya, "Panda" adalah panggilan yang lahir karena kebiasaanku. Meskipun laki-laki, aku memang selalu menyukai boneka panda ketika kecil, maklum adik-adikku laki-laki semua dan dulu ayah dan mamah memang menginginkan anak perempuan. Orang mungkin berpikir aneh, tapi aku suka dengan sosok panda yang gemuk dan menggemaskan. Tapi jangan berpikir aneh-aneh, para pemirsa dan pembaca….aku lurus lho, tidak belok, wkwkwk…..

Belakangan, setelah aku menikah dan menjadi seorang ayah, teman-temanku memperkenalkan makna baru dari panggilan itu. "Panda" menjadi singkatan dari "Papanda," sebutan sayang untuk seorang ayah dari anak-anak. Namun, ironisnya, seiring berjalannya waktu, panggilan itu terasa semakin cocok karena tubuhku yang juga semakin gemuk, seperti panda sungguhan. Inilah asal muasal akhirnya aku sering dipanggil “Andre Panda atau Andri Panda”

Aku juga ingin bercerita tentang latar belakang keluargaku, konon kabarnya nenekku dari pihak ayah masih keturunan Hamengkubuwono, hanya saja kami tidak tahu pasti apakah HB V, HB VI atau HB VII. Nenekku bergelar Raden Ayu. Ayahku bergelar Raden. Garis keturunan ke-7 yang bergelar Keraton Mataram Yogyakarta berakhir di ayahku. Ayah, Pakdhe, Budhe, Paklik, Bulik, tidak mau mengurus gelar-gelaran tadi karena mereka semua berpikiran modern dan egaliter. Menurut mereka, sekarang ini gelar keturunan keraton hanya diperlukan untuk mengetahui akar sejarah keluarga, namun tidak berfungsi untuk yang lain seperti status sosial, mencari pekerjaan maupun karir politik.

Sedangkan kakekku dari pihak Mamah menjadi pengusaha batik di Laweyan, Solo di masa terbentuknya Sarekat Dagang Islam dan orde lama, lalu usaha batik di Laweyan diwariskan ke kakak Mamahku alias Pakdheku di masa orde baru, lalu dilanjutkan kakak sepupuku hingga sekarang ini. Kakekku dari pihak Mamahku masih merupakan keturunan alap-alap samber nyawa alias Mangkunegara I yang terkenal bisa melawan pasukan kolonial Hindia Belanda yang berjumlah banyak, tapi keturunannya alias aku koq jadi alap-alap samber pangan, aku melahap makanan apapun yang ada di depanku jika kuanggap enak. Tapi yang penting aku tidak melahap uang rakyat alias korupsi karena aku tidak memiliki karir politik, wkwkwk….Kejujuran dan tidak memakan uang yang bersimbah darah dan keringat rakyat adalah nilai yang sangat dipegang oleh keluargaku.

***

Sejak kecil, pola makanku memang sudah tidak biasa. Ketika anak-anak lain menyukai nasi atau bubur nasi, aku justru hanya mau makan bubur tepung beras semi instan yang dimasak di atas panci. Mamah harus memasak bubur itu dengan telaten, mencampurnya dengan air yang pas, hingga teksturnya lembut sempurna. Mungkin terdengar rewel, tapi begitulah aku. Dan masalahnya, aku tidak hanya makan sedikit. Porsiku selalu lebih banyak daripada yang lain.

Ada satu makanan lain yang tidak bisa aku tolak sejak kecil: buah kelengkeng. Aku bisa menghabiskan satu kilogram buah kelengkeng dalam sekali duduk. Rasanya manis, juicy, dan entah mengapa aku selalu merasa tak cukup hanya dengan makan sedikit. Kebiasaan makan berlebihan ini sebenarnya sudah tertanam sejak kecil, bukan hanya pada buah kelengkeng tapi pada makanan lain juga.

Mamahku, dengan segala niat baiknya, selalu berusaha memastikan aku tetap sehat meskipun punya asma. Dia memiliki ramuan khas yang disebut STM—campuran, susu, telur ayam jawa dan madu. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, aku harus menelan ramuan itu. Kata mamah, itu baik untuk memperkuat tubuhku, terutama paru-paruku. Dan aku, percaya bahwa STM ini adalah “ramuan sakti” yang membuatku bisa melalui hari-hari tanpa sesak napas.

Namun, ketika aku menoleh ke belakang, aku sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan inilah yang pelan tapi pasti membentuk tubuhku menjadi seperti sekarang. Aku menjadi terbiasa makan lebih banyak dari yang seharusnya, karena itulah yang diajarkan oleh keluarga sejak aku kecil. Bahkan saat Ayah mengajakku keluar untuk makan, pilihan makanannya selalu sama: bakso atau mie ayam. Dan tidak pernah cukup satu mangkuk. Satu mangkuk saja rasanya tidak memuaskan bagi Ayah. "Tambah lagi, Andre. Biar kuat!" katanya sambil tersenyum lebar, seperti merasa bangga melihat anaknya makan banyak.

Satu mangkuk bakso menjadi dua. Dua menjadi tiga, empat, dan entah bagaimana aku bisa menghabiskan hingga lima mangkuk dalam satu sesi makan. Saat itu, rasanya tidak ada yang salah. Makan banyak dianggap sebagai tanda kesehatan dan kesejahteraan. Kami tidak pernah berbicara tentang kalori, lemak, atau risiko kesehatan lainnya. Makan adalah cara kami menikmati hidup, sebuah bentuk kasih sayang dari Ayah untukku. Namun, tanpa disadari, pola pikir seperti ini yang menjadi akar dari masalah obesitasku di kemudian hari.

Aku tidak pernah merasa masalah dengan berat badanku hingga aku mulai menginjak dewasa. Panggilan "Panda" yang awalnya manis mulai berubah menjadi cerminan nyata dari tubuhku yang semakin besar. Saat aku menikah dan memiliki anak, tubuhku semakin gemuk karena jarang olahraga ditambah persoalan hidup semakin kompeks terutama dari tekanan keluarga besar istriku yang menginginkan kami punya rumah, punya mobil dan berpenghasilan banyak dengan membuka berbagai lini usaha. Belum lagi, seringkali aku berteman baik dengan sahabat SMA, sahabat kuliah, di kantor maupun bahkan tetanggaku sendiri yang awalnya baik kemudian berubah perilakunya menjadi tidak menyukaiku bahkan memusuhiku. Hal ini semakin menyebabkanku tidak bisa lagi menahan keinginan untuk makan dalam porsi besar, dan kebiasaan makan banyak ini semakin menjadi-jadi. Bahkan istriku, kadang becanda yang nylekit, memanggil “gentong wasiat”, karena badanku yang semakin lama makin menggembung hingga 230kg. dan inilah yang kadang menjadi bibit pertengkaran rumah tangga kami.

Ketika aku sadar bahwa berat badanku sudah mencapai angka yang cukup mengkhawatirkan, yaitu 230 kilogram, ditambah tubuhku yang susah bergerak, aku mulai merasa ada yang salah. Namun, rasa cintaku pada makanan, terutama makanan yang membawa nostalgia masa kecil seperti mie ayam, bakso, nasi sambal terasi, dan gorengan sulit sekali untuk dilepaskan. Ada kenyamanan yang tidak bisa tergantikan oleh apa pun ketika aku makan makanan itu. Seakan-akan, makan menjadi cara untuk menghubungkan kembali dengan masa-masa bahagia bersama Ayah.

Tapi, seiring waktu berjalan, aku mulai merasakan dampaknya. Tensi darahku terus meningkat, kakiku sering bengkak, dan asma yang sudah lama tidak kambuh, kadang-kadang muncul lagi, meski tidak sesering dulu. Aku sadar bahwa sesuatu harus diubah, tapi entah mengapa, mengubah kebiasaan yang sudah tertanam selama puluhan tahun tidaklah mudah.

Kebiasaan makan banyak ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga emosional. Setiap suap makanan, terutama makanan yang kuanggap ‘comfort food’ seperti mie ayam atau bakso, nasi 1 soblok banyak piring meskipun hanya dengan lauk sambal terasi, satu kresek gorengan isi 20 biji, kopi manis 8 gelas dengan 4 sendok makan gula setiap gelasnya, seakan mengobati trauma ditolak cinta monyet, kerinduan terhadap Ayah, pelampiasan dari kemarahan terhadap persoalan toxic friends, toxic office, toxic family, dan toxic neighbour. Hampir semua hal seakan menjadi toxic bagiku karena aku merasa hidupku dikelilingi oleh segala sesuatu yang serba toxic.

Meskipun sekarang aku tahu bahwa pola makan seperti ini bukanlah kebiasaan yang sehat, namun terkadang diriku masih memandangnya sebagai bagian dari cinta dan kenangan masa lalu.

Aku ingat Ayah pernah berkata, "Makanlah yang banyak, Andre. Ayo nambah lagi bakso dan mie ayamnya" Kalimat itu selalu terngiang di benakku setiap kali aku merasa bersalah setelah makan banyak. Tapi sekarang, di usia yang semakin bertambah, aku tahu aku harus mulai memikirkan kesehatan jangka panjangku. Hidup ini mungkin singkat, tapi aku ingin menjalaninya dengan lebih sehat dan bermakna.

Bagiku, mengatasi obesitas ini bukan hanya soal diet atau olahraga semata. Ini juga soal bagaimana aku berdamai dengan masa lalu, memahami kebiasaan yang salah, dan membangun kebiasaan baru yang lebih baik. Aku tahu jalan ini tidak mudah, tapi aku bertekad untuk memulainya. Satu langkah kecil demi kesehatan, satu langkah besar untuk masa depan yang lebih baik.

Dan di sini, aku mulai mencoba mengingatkan diri sendiri untuk kembali ke akar yang lebih sederhana, lebih sehat, dan lebih jujur pada tubuhku. Perjalanan ini tidak akan mudah, tapi aku siap melakukannya, selangkah demi selangkah.

Lihat selengkapnya