Aku terdiam duduk terdiam di bangku kayu di sudut taman sekolah menengah pertama (SMP) ku. Sambil melamun terngiang-ngiang di telingaku, "Maaf, Andre. Aku hanya menganggap kamu seperti saudara." Ucapan itu seperti palu godam yang menghantam dadaku. Aku telah mempersiapkan mental untuk segala jawaban, tapi tetap saja kalimat itu seperti badai yang memporak-porandakan hatinya.
Rara, gadis yang selama ini aku kagumi dalam diam, akhirnya tahu tentang perasaanku. Rara masih merupakan kerabat jauhku, kami bertemu pada saat lebaran pada saat perkumpulan trah.
Rara, yang cantik dan mempesona dengan wajah mirip orang Jepang, tokoh dalam film "Tokyo Love Story"—senyum lembut, mata yang bercahaya, dan kulit putih bersih yang selalu membuatku terkesima. Sudah berbulan-bulan aku menyimpan perasaan ini, berharap ada kesempatan untuk lebih dekat. Namun, kenyataan yang aku dapatkan sangat berbeda dari harapan. Bukan cinta, melainkan penolakan yang halus tapi menyakitkan.
Aku memegang kepalaku dengan frustasi. "Saudara?" gumamku, "Kenapa aku cuma dianggap saudara?"
Aku menatap tubuhnya sendiri—gemuk, perut yang sedikit membuncit, pipi yang chubby. Sejak kecil, aku memang selalu lebih besar dibandingkan teman-temannya. Aku sering menjadi bahan candaan, tapi aku selalu menepisnya. "Aku baik-baik saja," kataku pada diriku sendiri berulang kali. Namun, setelah penolakan dari Rara, aku mulai meragukan segalanya.
"Apa karena aku gemuk?" pertanyaan itu menggema di kepalanya, berulang-ulang seperti kaset rusak. Rara tidak pernah mengatakan itu, tapi benakku seakan membuat kesimpulan sendiri. Hatiku terbakar oleh ketidakpuasan pada diri sendiri.
Keesokan harinya, di hari minggu tepatnya ketika pagi masih basah oleh embun dan matahari baru mulai mengintip dari balik awan, Aku berdiri di depan cermin di kamar. Aku menatap bayanganku sendiri. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar memperhatikan tubuhnya—perut yang menggembung, lengan yang besar, dan wajah yang bulat. Aku menghela napas dalam-dalam.
"Mungkin ini adalah saatnya berubah," gumamku, kali ini dengan suara yang lebih tegas. Aku memutuskan untuk berolahraga, sesuatu yang belum pernah benar-benar aku lakukan sebelumnya. Bukan hanya untuk Rara, tapi juga untuk diriku sendiri.
Aku memulai olahragaku dengan sederhana, mengeluarkan sepatu olahraga yang sudah lama berdebu dari lemari, mengenakan kaos dan celana training, lalu keluar rumah. Udara pagi menusuk kulitku yang belum terbiasa berkeringat, namun aku terus berjalan, mengitari kompleks perumahan. Awalnya, aku hanya berjalan santai, menikmati angin sejuk yang menyapa wajahnya. Namun, semakin lama, langkahnya semakin cepat, hampir seperti setengah berlari. Aku merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, keringat mulai mengalir di punggungku, dan napasku mulai terengah-engah.
Setiap minggu pagi, rutinitas itu berulang. Berjalan, berlari kecil, lalu berjalan lagi. Dalam beberapa minggu, tubuhku mulai beradaptasi. Aku tidak lagi cepat lelah.