Mamah, Panda Ingin Sehat

Ita Mutiara Dewi
Chapter #4

Bab 3: Surat Cinta Masa SMA

Aku menatap pantulan tubuhku di cermin dengan penuh rasa tidak puas. Usia 17 tahun, duduk di kelas 2 SMA dengan berat badan 80 kilogram membuatku tampak seperti giant--dalam film kartun Doraemon--di antara teman-temanku. Dulu, aku sempat merasakan kebanggaan ketika berhasil menurunkan berat badan setelah ditolak cinta oleh Rara. Waktu itu, aku benar-benar menjaga pola makan dan rajin berolahraga. Berat badanku turun cukup signifikan, dan rasanya seperti pencapaian yang luar biasa. Namun, semua itu hanya bertahan sebentar. Aku kembali tergoda oleh makanan lezat, dan khilafku membuatku kembali makan dengan rakus. Semua hasil kerja keras itu pun hilang dalam sekejap.

Ayahku punya peran penting dalam kebiasaan makanku. Ayah sering mengajakku ke warung bakso favorit kami di ujung jalan Kusumanegara. Ayahku tahu aku sangat suka bakso—makanan lezat yang hangat dan kenyal di mulut. Satu mangkuk bakso bukanlah masalah besar, tapi ayahku selalu mendorongku untuk makan lebih banyak. "Tambah lagi satu mangkuk, Nak," katanya sambil tersenyum. "Kamu kan masih muda, makan yang banyak biar kuat!" Aku menurut, seperti biasa. Dari satu mangkuk menjadi dua, lalu tiga, hingga akhirnya lima mangkuk bakso lenyap dalam perutku. Di satu sisi, aku merasa kenyang dan puas. Di sisi lain, aku tahu bahwa berat badanku pasti naik lagi.

Namun, bukan hanya berat badanku yang membuatku gelisah. Aku memiliki perasaan yang tak terungkapkan untuk Dara, teman sekelasku di SMA. Dara adalah gadis yang aku anggap sangat cantik. Dia memiliki rambut panjang yang selalu terlihat rapi, senyum yang manis, dan cara berbicara yang lembut. Setiap kali melihat Dara, hatiku selalu berdebar. Aku tahu bahwa aku menyukainya, dan suatu hari, aku memberanikan diri untuk menulis surat cinta untuknya, maklum di tahun 1990-an belum ada smartphone dan e-mail pun belum terlalu trend.

Aku menulis surat itu dengan hati-hati, berusaha memilih kata-kata yang paling manis dan tulus. Aku ingin Dara tahu betapa istimewanya dia di mataku, dan bagaimana setiap harinya aku selalu menunggu kesempatan untuk melihat senyumnya. Setelah menulis surat itu, aku menyelinap ke kelas saat istirahat dan meletakkannya di laci meja Dara. Aku merasa gugup, tetapi juga bersemangat membayangkan bagaimana reaksi Dara saat membaca surat itu.

Keesokan harinya, aku duduk dengan gelisah di bangkuku. Aku tidak sabar menunggu reaksi Dara, berharap ada secercah harapan bahwa dia akan tersenyum dan mengerti perasaanku. Namun, kenyataannya jauh dari yang aku bayangkan. Saat jam pelajaran hampir dimulai, Dara tiba-tiba berdiri di depan kelas dengan suratku di tangannya. Jantungku berdegup kencang saat aku menyadari apa yang akan terjadi.

"Teman-teman," suara Dara menggema di ruangan, "Dengar ya, ada yang kirim surat cinta buat aku." Ia mulai membaca isi suratku dengan nada mengejek, mengulang setiap kata dengan intonasi yang berlebihan, sementara tawa dari teman-teman sekelas mulai terdengar.

Halo Dara!

Aku harap surat ini menemanimu dengan senyum manis yang selalu kamu berikan setiap kali kita bertemu. Maaf jika aku memberanikan diri untuk menyampaikan sesuatu yang sudah lama kusimpan dalam hati.

Lihat selengkapnya