Masa depan sering kali tampak seperti labirin yang penuh pilihan sulit dan tekanan. Dan bagiku, hidup seperti berjalan di atas tali yang ditarik di antara keinginan ayah dan mamah. Ayahku, seorang pegawai yang berdinas di hutan yang berdedikasi, memiliki rencana yang sangat jelas untukku. “Kalau Ayah pensiun, kamu bisa menggantikan posisi Ayah di Hutan. Kalau belum pensiun, Ayah bisa rekomendasikan kamu jadi pegawai di sana. Aman untuk masa depanmu,” katanya dengan nada yang tak bisa ditawar. Bagi ayah, hutan bukan hanya pekerjaan, tapi jalan hidup yang menjanjikan keamanan dan stabilitas.
Namun, mamahku berpikir lain. Sebagai istri seorang pegawai yang berdinas di hutan-hutan di Indonesia, beliau tahu betul betapa beratnya hidup ditinggal suami untuk dinas ke berbagai daerah—Nunukan, Mantingan, Caruban, Banyuwangi, Pekalongan, dan entah berapa banyak lagi tempat yang tak bisa kuhitung dengan jari. “Mamah ingin kamu jadi guru saja, Lik… Nggak enak hidup jauh-jauhan terus seperti Ibu. Jadi guru itu juga mulia,” kata mamah suatu malam sambil mengelus rambutku dengan lembut. Lik—atau Lilik adalah panggilan kesayangan untuk anak laki-laki di Jawa seperti halnya panggilan Le atau Tole.
Kedua orang tuaku memiliki pandangan yang berbeda tentang masa depan yang terbaik untukku. Tapi, sayangnya, aku hanya punya satu hidup untuk dijalani dan satu keputusan besar untuk dibuat. Saat tiba waktu pendaftaran Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), aku merasa berada di persimpangan jalan. Aku mendaftar ke Universitas Negeri di Yogyakarta dengan pilihan jurusan Ilmu Kehutanan, sesuai dengan harapan ayah. Di sisi lain, aku juga mendaftar ke Universitas Negeri di Yogyakarta dengan jurusan Ilmu Pendidikan, untuk menghormati keinginan mamah. Dua jurusan, dua masa depan yang sangat berbeda.
***
Hari pengumuman UMPTN tiba. Dengan hati berdebar, aku membuka laman pengumuman itu di surat kabar. Perlahan, kubuka-buka berulang-ulang di halaman surat kabar lokal dan nasional, aku sampai membeli dua macam surat kabar di hari itu. Siapa tau di surat kabar satu mataku tidak teliti, jadi ada di surat kabar satunya. Namun kenyataan berkata lain, surat kabar itu menunjukkan hasilnya—aku tidak lolos di kedua pilihan itu. Rasanya seperti ditampar kenyataan, tapi aku harus tetap maju.