Ospek di jurusan Ilmu Kehutanan adalah masa-masa yang akan selalu terpatri dalam benakku—bukan karena keseruan atau pengalamannya, melainkan karena trauma yang ditimbulkannya. Meski era Orde Baru sudah lama berlalu, budaya ospek ala militer yang menindas masih tetap bertahan di kampus. Para senior merasa itu adalah tradisi yang harus terus dipertahankan untuk “membentuk mental” kami, mahasiswa baru. Mereka percaya bahwa penderitaan adalah bagian dari proses menjadi seorang mahasiswa sejati.
Hari pertama ospek dimulai dengan instruksi yang aneh dan menakutkan. Kami, mahasiswa baru, dikumpulkan di lapangan kampus dengan seragam putih-hitam yang sudah kusam oleh keringat dan debu. Matahari pagi yang seharusnya memberi hangat justru terasa membakar kulit kami. Para senior berteriak-teriak, memberikan perintah dengan nada tinggi, seolah-olah mereka adalah komandan perang yang siap mengirimkan pasukan ke medan pertempuran.
“Semua siap?” teriak seorang senior dengan suara lantang. Kami semua serentak menjawab, “Siap!” Meski kenyataannya, jauh di lubuk hati, tidak ada yang benar-benar siap dengan apa yang akan terjadi.
Tantangan pertama yang harus kami hadapi adalah memakan cacing tanah dan singkong mentah. Ketika instruksi ini diberikan, aku merasa perutku berputar hebat. Seumur hidupku, aku belum pernah memakan sesuatu yang begitu menjijikkan. Singkong mentah mungkin bisa ditoleransi, tapi cacing tanah yang masih menggeliat itu membuat perutku mual hanya dengan melihatnya.
"Jangan ada yang menolak! Ini bagian dari pembentukan mental kalian!" teriak seorang senior lagi, suaranya serak namun penuh dengan otoritas. Kami hanya bisa saling memandang dengan wajah ngeri, tapi tak ada yang berani melawan.
Dengan tangan gemetar, aku mengambil sepotong singkong mentah. Rasanya keras dan pahit ketika aku menggigitnya, membuat gigiku ngilu. Namun, belum selesai mengunyah, seorang senior sudah mendorong segumpal cacing tanah mentah di hadapanku. “Ayo cepat makan,”katanya. Aku mencoba menelan ketakutanku dan memasukkan cacing itu ke dalam mulutku. Rasa amis yang luar biasa menyentuh lidahku, dan aku harus berjuang menahan muntah. Di sampingku, beberapa teman terlihat berjuang keras menelan cacing-cacing itu. Wajah mereka memucat, tapi ketakutan akan hukuman yang lebih parah membuat mereka tetap menurut.
Hari terus berlanjut dengan serangkaian tugas fisik yang semakin berat. Setelah memakan singkong dan cacing, kami diperintahkan untuk berjalan beberapa kilometer mengitari hutan--tempat kami akan berkemah selama beberapa hari ke depan. Hutan tersebut adalah tempat legendaris bagi kampus-kampus yang memiliki Jurusan Ilmu Kehutanan di Yogyakarta. Aku bisa merasakan tubuhku mulai lemas akibat asupan yang tidak layak dan perjalanan yang melelahkan ini.
Ketika malam tiba, dinginnya udara hutan mulai menusuk tulang. Aku bisa merasakan tubuhku menggigil, dan dada mulai terasa berat. Aku menderita asma sejak kecil, dan meski sudah membawa persiapan obat-obatan, aku mulai khawatir kondisiku akan semakin buruk. Beberapa kali aku mencoba menarik napas dalam-dalam, tapi rasanya tidak cukup. Udara dingin dan lembap malah membuat paru-paruku terasa seperti dihimpit oleh sesuatu yang berat. Saat malam semakin larut, tubuhku tak mampu lagi menahan. Napasku semakin tersengal-sengal, dan aku mulai merasakan pandanganku berputar.