Mamah, Panda Ingin Sehat

Ita Mutiara Dewi
Chapter #7

Bab 6: Duka di Tengah Kejujuran

Ayah adalah segalanya bagiku, panutanku, idolaku—pria yang sangat jujur, bersahaja, dan anti korupsi. Beliau bekerja di hutan dan dikenal di lingkungannya sebagai orang yang teguh memegang prinsip. Di saat teman-teman kerjanya mampu memiliki banyak aset—kos-kosan, kontrakan, rumah lebih dari satu, dan mobil yang lebih dari satu—ayahku tetap memilih hidup sederhana. Kami hanya memiliki satu rumah kecil di perumahan nasional di Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Rumah tipe 33 dengan luas 110 meter persegi itu memiliki tiga kamar tidur dan satu kamar mandi. Tidak ada aset lain yang kami miliki. Dan itu sudah cukup bagi ayahku. "Kekayaan itu di hati, Nak," katanya suatu hari. "Yang penting kita bisa tidur nyenyak tanpa takut dosa."

 ***

Hari Rabu itu seperti biasa aku mengantar ayah dengan sepeda motor menuju tempat dinasnya di hutan Pekalongan. Beliau duduk di belakang, dengan punggung tegap dan wajah penuh semangat. Aku ingat betul bagaimana beliau menyapaku dengan senyuman, seakan hari itu sama seperti hari-hari lainnya. "Jaga adik-adikmu, ya. Dan jangan lupa belajar yang rajin," pesan beliau sebelum turun dari motor. Aku mengangguk dan menunggu hingga beliau berjalan menjauh dan menghilang di antara pepohonan sebelum berbalik pulang.

 

Sabtu pagi, aku masih sempat bercanda dengan ayah melalui telepon. Suara ayah terdengar ceria seperti biasa. Kami tertawa-tawa mendengar lelucon yang sering kami ceritakan berulang kali. Aku tak menyangka, itulah percakapan terakhirku dengan beliau.

Hari Minggu, 22 Februari 2004, di malam hari telepon rumahku berdering. Aku menjawab dengan biasa saja, tak tahu bahwa kata-kata yang akan keluar berikutnya akan mengubah hidupku selamanya. Ibumu ada Lik, tanya Pak Heru, teman ayah.  Wonten Pakdhe, jawabku. Mah…ada telpon dari Pakdhe Heru, kataku… Iya Lik mengko dhisik, jawab Mamah.

 

Ada apa Pakdhe? Tanya Mamah, "Innalillahi wa inna ilayhi roji’un Budhe….kata Pakdhe Heru. “Saya agak bingung bagaimana harus memberitahukan ini," suara di ujung sana terdengar berat, seolah menggantungkan kabar buruk di ujung lidahnya. "Pakdhe Budi meninggal dunia pagi ini, serangan jantung di tengah hutan dan tidak bisa menghindar ketika ada kayu yang jatuh." Mamahku syok, terdiam sejenak lalu menangis terisak-isak. Ayahmu Lik, dipanggil Alloh, katanya.

 

Dunia seketika runtuh di hadapanku. Aku tak tahu harus bagaimana, tak tahu harus merespons apa. Tubuhku gemetar, dan air mata jatuh tanpa bisa kutahan. Dengan terbata-bata, aku memberitahu adik-adikku. Kami berpelukan di tengah ruang tamu, menangis.

 

Secepatnya, kami berangkat menuju Pekalongan. Sepanjang perjalanan, hati kami diliputi perasaan tidak menentu—antara sedih, bingung, dan syok. Sesampainya di rumah sakit di Pekalongan, kami disambut oleh beberapa rekan kerja ayah yang sudah menunggu. Mata mereka terlihat sayu, mungkin juga sudah lelah karena mencoba menerima kenyataan ini.

 

Saat kami melihat jenazah ayah, wajahnya terlihat begitu tenang. Seakan-akan beliau hanya tertidur dan akan bangun kapan saja. Aku memegang tangan beliau yang dingin dan menggenggamnya kuat-kuat, berharap ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tetapi, kenyataan terus menghantamku.

 

Perjalanan kembali ke Yogyakarta dengan mobil jenazah terasa begitu panjang dan penuh keheningan. Mamah duduk di sampingku, memeluk adikku, Dio--yang paling kecil. Semua mata memandang kosong ke luar jendela, tak ada yang benar-benar melihat apa yang ada di luar sana. Hanya pikiran yang sibuk bergelut dengan kenangan dan kesedihan.

 

Saat tiba di Yogyakarta, kami langsung mempersiapkan prosesi pemakaman ayah. Saat memandikan jenazah ayah, aku, mamah, eyang kakung, eyang putri, pakdhe, dan om yang ikut membantu, menemukan sesuatu yang ganjil. Ada luka berbentuk lubang kecil di dada ayah, seperti luka akibat senjata api entah karena tertusuk batang pohon kecil. Luka itu tampak tersembunyi di balik baju ayah sebagai tanda pasien rumah sakit, seolah hal ini ingin disembunyikan dari pandangan. Kami semua melihatnya, tapi tak ada yang berani bicara. Hanya diam, menyimpan kejanggalan itu di dalam hati masing-masing.

Lihat selengkapnya