Sejak kejadian kisah cinta masa lalu, ospek yang traumatik itu, hidupku seperti berjalan di atas kaca retak. Ketika aku mulai mencoba merangkak keluar dari rasa takut dan luka, datanglah badai yang lebih besar—kehilangan Ayah. Kehilangan ini menghantamku lebih keras dari apa pun yang pernah kualami. Ayah bukan sekadar sosok yang menuntunku tumbuh dewasa; ia adalah pahlawanku, teladan kejujuran dan keteguhan yang selalu kujunjung tinggi. Sekarang, semua itu hilang, terkubur bersama tubuhnya di bawah tanah merah pekuburan.
Aku ingat saat terakhir kali berbicara dengannya melalui telepon, Sabtu itu. Suaranya terdengar begitu hangat, penuh dengan semangat seperti biasa. "Jangan lupa ganti oli motor ya, Nak. Mesin tua butuh perhatian lebih," katanya dengan tawa khasnya yang renyah. Itu adalah obrolan ringan, namun sekarang setiap kata itu terasa seperti batu yang menghantam dadaku. Aku tidak pernah menyangka itu akan menjadi kata-kata terakhirnya untukku.
Setelah Ayah pergi, hidupku seolah kehilangan arah. Mimpi-mimpi yang pernah kami rangkai bersama terasa tak lagi berarti. Ayah selalu membayangkan aku akan bekerja di Hutan, meneruskan jejaknya yang jujur dan berdedikasi di tengah lingkungan yang mungkin penuh dengan godaan korupsi dan penyelewengan. Dia berharap aku bisa menjadi "tunas baru" yang tetap tegak di antara pohon-pohon yang bengkok.
Selain itu, kami juga punya cita-cita lain—lebih sederhana, namun begitu hangat dan penuh harapan. Kami ingin mendirikan bengkel motor setelah Ayah pensiun. Di bengkel itulah Ayah akan mengajarkanku lebih banyak tentang mesin. Memang, sejak kecil, Ayah sudah melibatkan aku dalam urusan motor. Baginya, mesin motor adalah karya seni; setiap komponen, dari busi hingga rantai, memiliki perannya masing-masing, dan ketika semua bekerja bersama dengan baik, hasilnya adalah harmoni yang indah.