Mamah, Panda Ingin Sehat

Ita Mutiara Dewi
Chapter #9

Bab 8: Pekerjaan Setelah Wisuda

Hari wisudaku akhirnya tiba. Setelah empat tahun berjuang di Fakultas Kehutanan, dengan suka dan duka, aku berdiri di tengah aula besar ini dengan hati campur aduk—antara lega, bangga, dan sedikit pedih. Aku mengenakan toga hitam dengan selempang hijau khas jurusan Ilmu Kehutanan, sementara di hadapanku, pejawat rektorat, dekanat dan dosen-dosen yang dulu menemaniku berjuang kini berdiri dengan senyum di wajah mereka. Nama-nama mahasiswa mulai dipanggil satu per satu, dan ketika tiba giliranku, aku merasa dadaku bergetar.

“Nama berikutnya, lulusan Fakultas Kehutanan Jurusan Ilmu Kehutanan Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Indeks Prestasi Kumulatif 3,04 dengan predikat Sangat Memuaskan adalah...,” suara pembawa acara menggema di seluruh aula, “Andri Kusuma Budi Purnomo!”

Riuh tepuk tangan memenuhi ruangan. Langkahku terasa berat menuju panggung. Bukan karena ketakutan atau kecemasan, tetapi karena ada kekosongan yang begitu besar di dalam hatiku. Ayahku, orang yang paling kuharapkan bisa hadir di sini hari ini, sudah pergi selamanya sejak tahun kedua kuliahku. Kehilangan Ayah menjadi pukulan besar dalam hidupku, namun aku harus tetap melangkah. Di saat yang sama, di kursi penonton, aku melihat wajah Mamah tersenyum sambil menahan air mata. Aku tahu, ini adalah momen yang penting, bukan hanya untukku, tetapi juga untuknya.

Ketika rektor menyerahkan ijazah dan menjabat tanganku, aku merasa seolah semua jerih payah, begadang semalaman, tugas-tugas berat, dan setiap tetes keringat akhirnya terbayar. Ayah mungkin tidak ada di sini, tetapi aku tahu ia selalu mengawasiku dari atas sana.

Setelah acara wisuda berakhir, aku dan mamah duduk di taman kampus, menikmati angin sore yang sejuk. "Ayah pasti bangga padamu, Nak," Ibu berkata sambil menatapku dengan mata lembutnya yang kini tampak sedikit lelah. "Teruskan semangatmu. Ayah mungkin sudah tidak ada, tapi hidupmu masih panjang. Buat ayah bangga dengan apa yang akan kamu lakukan ke depan."

Aku mengangguk, mencoba menahan emosi yang mulai membanjiri hatiku. Aku tahu aku tidak bisa terus-menerus terjebak dalam kesedihan. Aku harus melangkah maju, demi diriku sendiri, demi mamah, dan demi mengenang Ayah.

 

Beberapa minggu setelah wisuda, aku menerima telepon dari kerabat jauhku, Om Derry. Om Derry-lah yang banyak memberikan bantuan moril dan materiil setelah ayah meninggal. Mulai mensupport SPP kuliahku dan sekolah adik-adikku. Serta membantu mamahku untuk menemukan tempat baru, rumah baru di pinggiran Sleman yaitu wilayah Kalasan. Setelah ayah meninggal, kami harus pindah rumah, selain karena kondisi keuangan mamah yang mengandalkan pensiun ayah yang sebenarnya kurang cukup, pindah rumah adalah solusi untuk mengobati luka batin kami karena ditinggal ayah meninggal, di rumah Condong Catur kami selalu teringat kenangan manis maupun kenangan pahit, namun paling menusuk dada adalah kenangan pahit itu.

 

Setelah mendengar tentang kelulusanku, beliau memintaku untuk bertemu dengannya di sebuah warung di dekat terminal Condong Catur yang kebetulan adalah miliknya. Saat itu, aku belum memiliki rencana jelas tentang pekerjaan apa yang akan kuambil. Aku hanya tahu bahwa aku harus segera mulai bekerja untuk membantu Ibu. Memang ada tawaran dari adik kandung ayahku, Om Dian yang mengajakku merantau ke Palu untuk bekerja di Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit. Tapi aku belum sanggup untuk meninggalkan mamah dan adik-adikku yang masih SMP dan SMA.

Lihat selengkapnya