Aku menatap langit senja dari jendela kamarku. Di luar sana, matahari perlahan-lahan tenggelam di balik pepohonan, menyisakan semburat jingga yang menyebar di langit. Pemandangan ini selalu memberiku ketenangan, seolah-olah alam sedang menenangkanku dalam keheningannya. Namun, sore ini, pikiranku berputar-putar, dipenuhi oleh pertanyaan dan pertimbangan yang semakin hari semakin rumit.
Sejak ayah meninggal beberapa tahun lalu, aku, sebagai anak laki-laki tertua, mengambil alih tanggung jawab keluarga. Mamah adalah seorang ibu rumah tangga, meskipun mendapatkan pensiun ayah dan sesekali beliau mengambil beberapa kain batik dari kakak sepupuku di Laweyan, namun tetap belum bisa menutupi biaya sekolah, kuliah dan biaya hidup lainnya. Dua adik laki-lakiku, Adit dan Nindyo, masih membutuhkan biaya untuk sekolah dan kuliah. Nindyo baru saja masuk SMA, sementara Adit masih duduk di bangku kuliah semester akhir. Aku harus menafkahi mereka semua.
Meskipun sudah beberapa kali mendengar bisikan dari teman dan kerabat tentang pentingnya menikah, aku selalu merasa belum waktunya. Ada rasa tanggung jawab yang besar di pundakku yang membuatku menunda untuk menikah. Bagiku, menikah bukan sekadar soal cinta atau sekadar memenuhi kewajiban sosial, melainkan soal kesiapan mental, finansial, dan tentu saja, keberkahan.
Sejak kuliah, aku sering mengikuti kajian Islam. Dari kajian-kajian itu, aku memahami bahwa dalam Islam, proses menuju pernikahan yang benar adalah melalui ta'aruf—sebuah proses saling mengenal tanpa harus terjebak dalam hubungan yang belum halal. Aku percaya, jika memang saatnya tiba, Allah SWT akan memudahkan jalanku.
***
Beberapa tahun kemudian usiaku menginjak 28 tahun. Aku merasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mulai mencari calon istri. Namun, perjalanan mencari calon istri ini ternyata tidak semudah yang kupikirkan. Ada seorang muslimah yang kukenal dari kajian. Penampilannya anggun, tutur katanya sopan, dan dia sangat menjaga hijabnya. Aku mulai membuka niat untuk ta'aruf dengannya. Namun, ketika kami berbicara lebih dalam, ia mengungkapkan keraguannya. "Bagaimana jika setelah menikah, nafkahmu masih harus dibagi untuk ibumu dan adik-adikmu? Apakah aku bisa mendapatkan perhatian yang cukup darimu?"