Setelah bertukar biodata dan merasa cocok satu sama lain, kami sepakat untuk bertemu di Yogyakarta. Pertemuan pertama ini adalah langkah besar dalam proses ta'aruf kami. Kami memutuskan untuk bertemu di rumah bulik Ita, yang merupakan adik ibunya yang ketiga. Kebetulan, saat itu buliknya sedang merayakan pernikahan acara ngunduh mantu anak pertamanya, Rayhan, yang juga adik sepupu Mbak Ita.
Hari itu, aku berangkat dari rumah dengan sepeda motor, ditemani oleh Elly, adik sepupuku, yang juga naik motor sendiri. Sepeda motor memang satu-satunya kendaraan yang aku miliki. Meski hanya naik motor, perasaan senang dan berbunga-bunga tidak bisa kusangkal. Rasanya, hari itu adalah hari yang penting dalam hidupku. Setibanya di rumah bulik Mbak Ita, suasana terasa meriah dengan dekorasi dan tamu yang ramai. Ketika aku melihat Mbak Ita untuk pertama kalinya, didampingi oleh Elly, hatiku benar-benar berdebar. Ia mengenakan gamis warna ungu tua dan kerudung ungu muda yang anggun, tampil sederhana namun menawan. Melihatnya, aku merasa semakin mantap dengan keputusan ini.
Pertemuan itu berlangsung hangat. Kami berbincang-bincang, mengenal lebih jauh satu sama lain. Mbak Ita terlihat ramah dan santun, dan suaranya pun lembut, menjawab setiap pertanyaanku dengan bijak dan penuh perhatian. Sementara aku berbicara, aku bisa melihat senyum kecil di bibirnya, seolah memberi tanda bahwa ia juga merasa nyaman. Di tengah obrolan santai itu, aku semakin yakin bahwa Mbak Ita mungkin adalah calon istri yang aku cari selama ini.
Keesokan harinya, aku memberanikan diri untuk mengirim SMS kepada Mbak Ita. “Assalamu’alaikum, Mbak Ita. Setelah pertemuan kemarin, saya merasa mantap untuk melanjutkan proses ta'aruf ini. Bagaimana dengan Mbak Ita?”
Tak lama kemudian, sebuah pesan balasan masuk. “Wa’alaikumsalam, Mas Andre. Alhamdulillah, saya juga merasa mantap untuk melanjutkan. Kebetulan besok Bapak, Ibu, Kakak, dan Kakak Ipar saya dari Malang akan datang ke Yogyakarta untuk menghadiri resepsi pernikahan Dik Rayhan di gedung. Sekalian, Mas Andre bisa bertemu dengan mereka.”
Aku merasakan campuran antara gugup dan antusias. Ini adalah momen penting untuk bertemu dengan keluarga Ita secara langsung dan lebih formal. Aku setuju untuk menemu beliau beliau di musholla dekat gedung resepsi. Hari itu, aku kembali naik motor ke gedung resepsi. Saat sampai di sana, aku disambut oleh Mbak Ita dan keluarganya. Ketika ditanya oleh ibunya Ita, "Naik apa, Mas Andre?" aku menjawab dengan jujur, "Naik motor, Bu." Mereka menyambutku dengan hangat, dan aku merasa diterima dengan baik. Kami bercakap-cakap santai. Bapaknya, ibunya, dan kakak-kakaknya Ita terlihat ramah dan terbuka.
Bahkan, aku diminta untuk masuk ke gedung dan menikmati hidangan yang ada. Saat sedang makan, tanpa sengaja aku mendengar Mbak Ita ditanya oleh salah satu buliknya, "Wah, ganteng lho, Mbak Ita. Siapa itu?" Mbak Ita hanya tersenyum kecil tanpa menjawab. Aku tahu, Mbak Ita tidak suka mengumbar sesuatu yang belum pasti. Ia lebih memilih untuk menjaga semuanya tetap tenang sampai waktu yang tepat.
Setelah pertemuan itu, aku merasa semakin yakin. Keesokan harinya, aku mengirim SMS kepada Mbak Ita, menanyakan apakah ia masih ingin melanjutkan ta'aruf. Namun, jawabannya agak mengejutkanku. “Mas Andre, saya sudah kembali ke Malang. Tapi sebelum kita melanjutkan proses ini, saya ingin meminta Mas Andre untuk melakukan tes jantung.”
Pesan itu membuatku terdiam sejenak. Rupanya, Mbak Ita dan keluarganya mengkhawatirkan kemungkinan aku memiliki keturunan penyakit jantung, terutama setelah aku menceritakan kepada Elly bahwa kalau ditanya mengapa ayahku meninggal, jawab saja karena sakit jantung, bukan karena kecelakaan yang entah disengaja maupun tidak saat dinas di hutan. Aku tidak sanggup menceritakan kejadian di hutan yang menjadi traumaku, jadi cerita tentang penyakit jantung itu sampai kepada Mbak Ita.
Aku pun membicarakan hal ini kepada mamahku. Mamah hanya mengangguk sambil bergumam pelan, tampaknya paham dengan permintaan itu. Aku juga berbicara tentang permintaan tes jantung ini kepada Om Derry dan istrinya, Tante Merry. "Menurut mereka, ini adalah syarat ta'aruf yang paling aneh sedunia ini. Bahkan orang pacaran pun tidak pernah meminta pacarnya untuk tes jantung sebelum menikah," kata Om Derry dengan nada setengah bercanda.