Tanggal 2 Juli 2011, rumah keluarga Mbak Ita di Malang tampak lebih sibuk dari biasanya. Pagi itu, keluarga besar dari kedua belah pihak mulai berdatangan untuk acara serah-serahan yang sudah lama dinantikan. Sebelumnya, sempat ada kendala kecil terkait isi serah-serahan, di mana keluarga Mbak Ita meminta barang-barang sederhana senilai 300 ribu rupiah. Namun, keluarga besarku dengan tulus memutuskan untuk menambah uang tunai 3 juta rupiah sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan. Mbak Ita sendiri terkejut, tetapi merasa terharu dengan sikap keluarga calon suaminya yang sangat menghargai keinginan mereka.
Keluargaku datang dengan membawa berbagai hantaran. Ada kotak-kotak berisi kain, makanan, dan uang tunai yang diletakkan rapi di atas nampan-nampan yang dihiasi ornamen warna biru tosca. Suasana hangat dan ceria terasa di seluruh ruangan, di mana sanak saudara dan sahabat dekat berdiskusi dengan riang, sesekali tertawa, meski ada juga yang diam-diam menahan air mata haru.
Di salah satu sudut ruangan, Mbak Ita duduk bersama ibunya. Matanya berkilauan, menatap ke arah keluarga besarku yang tampak harmonis. Di sisi lain, Aku tampak sibuk berbincang dengan keluarga besarnya, acara tersebut berjalan khidmat, lancar dan penuh kekeluargaan.
***
Tepat di hari Ahad, 3 Juli 2011, akad nikah dijadwalkan pukul 6 pagi. Langit masih gelap, tetapi suasana di rumah Mbak Ita sudah terasa penuh semangat dan ramai oleh banyak orang. Mbak Ita dirias oleh familinya yang punya usaha rias manten, sehingga rias mantennya gratis. Meskipun gratisan, menurut cewek-cewek dikatakan cantik dan natural. Mbak Ita dirias setelah subuh. Aku mengenakan jas hitam, celana panjang hitam dengan dasi yang senada, tidak lupa perias manten mengalungkan rangkaian melati ke leherku. Berdasarkan cerita Mbak Ita, karena familinya punya bisnis berkaitan penyelenggaraan pernikahan, rias mantennya gratis, dekorasi dan fotografi manten gratis. Sedangkan baju pengantinnya adalah desain Mbak Ita sendiri, sehingga hanya beli kain dan membayar ongkos jahit. Masjid pun tidak harus membayar uang sewa karena Bapak Mbak Ita adalah pejabat penting di universitas tempat masjid itu berada, jadi full diskon sebagai hadiah universitas terhadap dedikasi kerja Bapak Mbak Ita selama dua puluh tahun lebih.
Aku dan keluarga pria sudah berangkat ke masjid universitas sejak jam 5 pagi. Namun Mbak Ita dan keluarganya molor datangnya, baru datang 6.30. Tamu-tamu undangan mulai berdatangan, duduk bersila dan bersimpuh di dalam masjid. Bapak Mbak Ita duduk di sebelah penghulu dengan tenang.
Ketika waktu tiba, aku duduk di hadapan penghulu. Sedangkan Mbak Ita di ruangan lain di dalam masjid. Dengan suara yang tegas dan tanpa ragu, aku mengucapkan ijab kabul dengan lancar, disambut anggukan kepala dan senyum bahagia dari semua yang hadir. Bapak Mbak Ita, Pak Shobari atau Pak Bari, sekarang kusebut Bapak mertuaku memberikan sebuah nasihat yang dalam kepada pasangan yang baru saja sah menjadi suami istri itu. “Setelah menikah, jangan malas-malasan. Bangun pagi, rajin belajar, rajin bekerja, supaya kalian bisa bermanfaat bagi masyarakat,” katanya dengan bijak. Kata-kata itu tertanam dalam hati kami, seolah menjadi kompas yang akan kami ikuti dalam perjalanan hidup rumah tangga. Setelah itu ada nasehat pernikahan yang disampaikan Ustadz Akbar, teman Bapak mertua. dilanjutkan dengan sungkeman dan foto bersama
Setelah prosesi akad nikah selesai, suasana semakin meriah. Para tamu memberikan ucapan selamat, sementara aku dan istriku tak henti-hentinya tersenyum, meski dalam hati masih terbayang-bayang tanggung jawab besar yang akan dipikul. Setelah momen akad nikah, dilanjutkan dengan resepsi di ruang serbaguna masjid. Di perjalanan pulang menuju rumah istriku, aku tidak melepaskan genggaman tanganku padanya. Aku merasa berbunga-bunga dan berbahagia. Selepas dzuhur acara resepsi belum berakhir, karena dilanjutkan lagi resepsi di rumah istriku untuk tamu-tamu yang belum sempat hadir di acara resepsi di masjid. Keesokan harinya kami pergi ke panti asuhan karena ada kado kue tar besar dari teman Bapak Mertua. Kami tidak mungkin memakannya sendiri dan tidak mungkin diberikan ke tetangga.
Namun, di antara semua keseriusan itu, ada momen-momen lucu yang tak terduga. Ketika pasangan baru biasanya akan pergi berbulan madu, aku dan istriku justru menuju klinik dokter karena kami malah sakit setelah menikah. “Harusnya kita tamasya atau honeymoon, tapi malah ke dokter,” candaku di ruang tunggu dokter. Istriku, yang sekarang kupanggil dengan nama Dik Ita, bukan Mbak Ita lagi, hanya tertawa, meski dalam hatinya merasa ini adalah awal kehidupan nyata sebagai pasangan suami istri. Bahkan di momen ini, mereka menyadari bahwa bukan liburan mewah yang terpenting, tetapi kebersamaan dan saling mendukung di setiap langkah kehidupan.
Kakak laki-laki Dik Ita, Mas Udin, yang ikut hadir di rumah beberapa hari setelah acara pernikahan, tak lupa memberikan nasihat yang jenaka namun penuh makna. “Suaminya diurusin, dimasakin, jangan dianggurin, Ita,” katanya sambil tertawa kecil. Istriku hanya mengangguk sambil tersenyum, menyadari bahwa tanggung jawab sebagai istri tidak hanya tentang cinta, tetapi juga tentang perhatian dan kesetiaan dalam hal-hal kecil sehari-hari.