Mamah, Panda Ingin Sehat

Ita Mutiara Dewi
Chapter #17

Bab 16: Cobaan awal pernikahan

Bulan-bulan awal pernikahan kami berjalan dengan lancar. Istriku dan aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan baru sebagai pasangan suami istri. Sejak pernikahan, kehidupan kami dipenuhi oleh rutinitas yang lebih intens dari sebelumnya. Kami berdua masih harus membagi waktu dengan tugas-tugas kami masing-masing. Istriku, yang sedang menjalani tugas belajar di Malang, harus sering pulang-pergi Yogyakarta-Malang, sementara aku tetap di Yogyakarta karena pekerjaan.

Rutinitas ini membuat kami lebih sering berpisah daripada bersama, tetapi itu bukanlah masalah besar bagi kami. Kami telah terbiasa dengan dinamika hubungan jarak jauh selama beberapa bulan terakhir. Istriku tidak merasa terbebani, dan aku juga memahami bahwa ini adalah langkah yang harus diambil demi masa depan yang lebih baik. Toh, pekerjaan istriku di Yogyakarta juga untuk sementara waktu nonaktif karena ia harus fokus pada studinya di Malang. Meski demikian, setiap akhir pekan kami selalu menyempatkan diri untuk bertemu di Yogyakarta, sekadar menikmati waktu bersama atau beristirahat dari kesibukan masing-masing.

Di tengah kehidupan yang berjalan harmonis ini, suatu hari, Mamah mengajak kami untuk pergi ke Jakarta. Ajakan ini bukan untuk liburan biasa, melainkan untuk menghadiri acara pertemuan trah keluarga besar di rumah Pakdhe-ku, seorang pensiunan pejabat Pekerjaan Umum (PU). Mamah sangat antusias dengan acara ini karena selain mempererat tali silaturahmi, ia juga ingin memperkenalkan istriku, menantu barunya, kepada keluarga besar yang ada di Jakarta.

Istriku, yang senang bepergian, langsung menyambut ajakan ini dengan semangat. Baginya, pergi ke Jakarta untuk acara semacam ini adalah kesempatan untuk refreshing setelah penat dengan proposal disertasi. Namun, aku sendiri punya pertimbangan yang berbeda. Sebagai seorang karyawan yang terikat dengan jadwal pekerjaan yang padat, pergi ke Jakarta bukanlah hal yang mudah bagiku. Belum lagi, bepergian ke luar kota pasti membutuhkan budget tambahan, dan saat itu keuangan kami belum sepenuhnya stabil setelah pernikahan. Rasanya, aku lebih memilih tetap di Yogyakarta dan fokus pada pekerjaan daripada menghabiskan waktu dan uang untuk acara keluarga yang bagiku tidak terlalu mendesak.

Saat aku menyampaikan pendapatku kepada Mamah, suasana mulai memanas. Mamah, yang tadinya antusias, langsung kecewa dengan keputusanku. Ia merasa bahwa aku terlalu memprioritaskan pekerjaan di atas kepentingan keluarga, terutama acara penting seperti ini. Di sisi lain, istriku yang biasanya netral, kali ini ikut membela pendapatku. Ia berasumsi bahwa Mamah ndak usah memamerkan menantu barunya di depan keluarga besar, dan menurutnya, itu bukanlah alasan yang cukup kuat untuk memaksakan kami ikut.

Diskusi itu berujung pada perseteruan kecil antara aku dan Mamah. Meski demikian, Mamah akhirnya memilih untuk tetap berangkat ke Jakarta bersama Paklik dan Bulik, meninggalkan kami berdua di Yogyakarta. Setelah kepergian Mamah, suasana di rumah kembali tenang. Istriku dan aku memutuskan untuk menikmati waktu bersama, mengingat kami jarang bisa menghabiskan waktu berdua.

Hari Sabtu, tanpa direncanakan, kami memutuskan untuk pergi ke dokter kandungan. Ini sebenarnya hanya keisengan semata, karena kami belum merencanakan untuk memeriksakan apapun terkait kehamilan, hanya istri agak curiga karena beberapa bulan ini belum menemui siklusnya. Namun, hasil pemeriksaan itu justru membawa kejutan besar. Istriku ternyata sudah hamil sepuluh minggu. Tetapi kabar baik itu tidak berlangsung lama. Dokter menemukan bahwa janin yang seharusnya berkembang di usia 10 minggu itu tidak terlihat berkembang sesuai harapan, seperti masih limaminggu. Kemungkinan pertama bahwa ini adalah blighted ovum, sebuah kondisi di mana janin gagal berkembang, meski kantung kehamilan tetap terbentuk. Namun kemungkinan kedua, disebabkan salah menghitung siklus hormonal.

Mendengar diagnosis awal itu, kami berdua diliputi perasaan campur aduk. Di satu sisi, kami merasa senang mengetahui bahwa kami akan menjadi orang tua. Tetapi di sisi lain, ketidakpastian ini membuat kami cemas. Dokter pun menyarankan agar kami kembali lagi dua minggu kemudian untuk memastikan kondisi kehamilan istriku. Mungkin saja ada kesalahan hitung dalam siklusnya, sehingga usia kehamilan yang sebenarnya baru lima minggu, bukan sepuluh minggu seperti yang terlihat.

Sepulangnya dari dokter, aku dan istriku memutuskan untuk tidak memberitahu siapa pun dulu. Kami ingin menunggu hasil pemeriksaan dua minggu kemudian sebelum berbagi kabar ini. Namun, ketika Mamah pulang dari Jakarta, aku tak bisa menahan diri untuk berbagi kabar bahagia itu.

Lihat selengkapnya