Setelah istriku menjalani prosedur kuretase, kehidupan kami tidak langsung kembali normal. Kami masih sering bolak-balik ke klinik untuk pemeriksaan pasca kuretase. Istriku harus menjalani beberapa perawatan untuk memastikan bahwa tubuhnya pulih dengan baik setelah kehilangan janin yang sangat kami harapkan. Setiap kali kami pergi ke klinik di rumah sakit, perasaan yang bercampur aduk menyelimuti kami berdua. Meskipun dokter mengatakan semuanya berjalan baik, tetapi hati kami tetap terasa hampa.
Saat kabar tentang kehamilan istriku dan prosedur kuretase sampai ke telinga Bapak dan Ibu mertua, mereka kaget. Namun, kehamilan yang kami alami bukanlah fokus utama mereka. Kejadian itu lebih menjadi latar belakang dari masalah yang lebih besar yang sedang muncul di antara kami dan keluarga besar istriku. Kami merasa bahwa mereka lebih banyak mempermasalahkan hal-hal yang lain daripada memberikan dukungan emosional yang kami butuhkan dalam masa-masa sulit ini.
Beberapa hari setelah prosedur kuretase, keluarga besar istriku dari Yogyakarta dan Magelang datang berkunjung ke rumah sederhana kami di Yogyakarta. Ini bukan kunjungan biasa; aku bisa merasakan atmosfer yang berbeda. Ketika mereka datang, aku bisa melihat dari ekspresi wajah mereka bahwa mereka tidak terlalu bersimpatik. Mungkin berita tentang kami yang tidak mengikuti acara keluarga di Jakarta sudah sampai kepada mereka. Istriku mungkin secara tidak sengaja bercerita kepada Ibu mertua tentang kejadian itu, dan kabar tersebut menyebar lebih cepat dari yang aku duga.
Tampaknya, perseteruan antara aku dan Mamah terkait acara pertemuan trah di Jakarta menjadi awal dari gesekan yang lebih besar dalam hubungan kami dengan keluarga besar istriku. Apa yang tadinya hanya soal perbedaan pandangan tentang mengikuti acara keluarga, kini berubah menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Ditambah lagi, kondisi rumah Mamahku di Kalasan yang dianggap jauh dari ideal oleh mereka, semakin memperburuk situasi.
Aku tahu bahwa keluarga besar istriku punya standar yang tinggi dalam banyak hal. Mereka terbiasa dengan kehidupan yang lebih mapan secara ekonomi, rumah besar, dan fasilitas yang memadai. Rumah mamahku di Kalasan mungkin dianggap jauh dari standar tersebut, dan ini memicu berbagai pandangan miring terhadapku dan keluargaku. Meski aku sudah terbiasa dengan kondisi ekonomi keluargaku yang sederhana, tetapi ketika aku melihat mereka datang dengan sikap yang terkesan merendahkan, aku mulai merasakan adanya jurang pemisah yang semakin lebar antara aku dan keluarga istriku.
Minggu berikutnya, Bapak dan Ibu mertua, bersama kakak istriku dan kakak ipar dari Malang, mengajak kami bertamasya ke Pantai tentu saja bersama keluarga besar Yogyakarta dan Magelang. Tujuan mereka adalah memberikan hiburan kepada istriku, yang masih dalam masa pemulihan setelah keguguran. Awalnya, aku merasa ini adalah ide yang bagus. Setidaknya, kami bisa melepas stres dan menikmati waktu bersama keluarga.
Namun, anehnya, ketika perjalanan dimulai, kami dipisahkan dalam rombongan yang berbeda. Istriku berada dalam satu mobil bersama kakaknya, kakak iparnya, dan anak-anak mereka. Sementara aku, secara tak terduga, diikutkan dalam rombongan omnya yang membawa anak-anaknya. Rasanya janggal, seakan aku bukan bagian dari inti keluarga istriku. Padahal, aku suaminya. Seharusnya, kami duduk bersama, menikmati perjalanan bersama, dan mendukung satu sama lain.
Selama perjalanan, perasaan janggal itu terus membayangi pikiranku. Meskipun aku berusaha tetap tenang, tapi aku tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa aku diperlakukan berbeda. Ketika sampai di pantai, kami berusaha menikmati hari itu. Istriku terlihat berusaha keras untuk tetap ceria, meskipun aku tahu di dalam hatinya masih ada rasa sedih akibat kehilangan calon anak kami. Aku menghargai usahanya, tapi suasana aneh antara aku dan keluarganya tetap tak bisa kuhindari.
Ketika malam tiba, sebelum pulang ke rumah nenek istriku di Magelang, aku menerima telepon dari istriku. Ia memberitahuku bahwa rombongan mereka mampir ke sebuah warung makan dulu. Sementara itu, aku dan rombongan omnya langsung pulang ke Magelang tanpa singgah makan. Setibanya di Magelang, istriku kembali menelpon dan bertanya, "Sudah makan, Mas?"
Aku hanya menjawab singkat, "Belum."