Hari itu, kami memutuskan untuk memberikan kejutan kepada bapak dan ibu mertua. Setelah melalui berbagai cobaan, terutama kondisi istriku yang sempat terserang Ramsay Hunt Syndrome, kami akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Dalam dua tahun pernikahan, kami berhasil mengumpulkan cukup dana untuk membeli rumah, meskipun dengan cara mengangsur melalui bantuan keluarga. Kami pikir, ini adalah pencapaian besar yang layak untuk dibanggakan. Namun, kami belum tahu bahwa keputusan ini justru akan menjadi bibit perseteruan dengan keluarga istriku, terutama bapak mertuaku.
“Sayang, bagaimana kalau kita beri tahu bapak dan ibu tentang rumah ini?” usulku saat kami duduk di teras rumah kontrakan yang sempit. Wajah istriku terlihat sedikit ragu, namun akhirnya ia mengangguk pelan.
“Aku yakin mereka akan kaget, tapi... ini kan kabar baik. Kita sudah berhasil mengangsur rumah tanpa perlu terlibat KPR, dan kita bisa bayar langsung ke Om Seno. Ini pencapaian besar buat kita,” tambahku, berusaha meyakinkannya.
Setelah beberapa saat berpikir, istriku setuju. Kami mengatur waktu untuk memberi tahu bapak dan ibu mertua, dengan harapan ini akan menjadi kejutan yang menyenangkan. Namun, ternyata kami sangat keliru.
***
Hari itu, bapak dan ibu mertua datang ke rumah baru kami. Setelah bersusah payah bernegosiasi dan mengangsur selama beberapa bulan, rumah sederhana di pinggiran kota ini terasa seperti pencapaian luar biasa bagi kami. Meski lokasinya agak masuk gang dan jalan aksesnya sempit, tapi bagi kami, ini adalah langkah awal untuk memiliki tempat tinggal sendiri, tidak lagi harus tinggal di kontrakan.
“Kami sudah sampai,” ujar ibu mertuaku melalui telepon.
Aku dan istriku bergegas menyambut mereka. Saat mereka melangkah masuk, kulihat wajah bapak mertuaku langsung berubah. Ekspresinya yang tadinya datar tiba-tiba mengeras ketika melihat rumah baru kami. Rumah yang bagiku adalah simbol perjuangan, tampaknya bagi bapak mertua justru menimbulkan kekecewaan.
“Apa ini?” tanyanya dingin sambil menatap sekeliling rumah.
“Ini rumah baru kami, Pak, Bu. Kami membelinya dengan cara mengangsur melalui Om Seno,” jawab istriku dengan suara riang, berusaha membawa suasana menjadi lebih positif.
Namun, reaksi yang kami harapkan ternyata tidak muncul. Sebaliknya, wajah bapak mertuaku semakin mengeras. Ibu mertuaku menatap kami dengan tatapan penuh kebingungan.
“Kenapa kalian membeli rumah sekarang? Kalian baru menikah dua tahun. Bukankah kalian seharusnya fokus menyelesaikan studi, apalagi setelah kejadian Ramsay Hunt Syndrome itu?” suara bapak mertuaku semakin keras. “Istrimu bahkan jarang ke Malang untuk mengurus kuliahnya, dan sekarang kalian malah memikirkan hal yang aneh-aneh seperti membeli rumah.”
Aku terdiam. Aku tahu bahwa situasi ini tidak akan mudah, tapi tidak menyangka akan langsung berujung pada kemarahan.