Suatu pagi, saat aku dan istriku sedang menikmati secangkir teh di teras rumah, telepon dari ibu mertuaku datang. Suara beliau terdengar sedikit cemas, namun di balik itu ada nada tenang yang tak bisa kusangkal. Sejak peristiwa besar tentang pembelian rumah ini, hubungan kami dengan keluarga istriku tidak pernah sama lagi. Meski perlahan membaik, terutama dengan bapak mertuaku, masih ada ketegangan yang sulit dihilangkan. Ketika aku mengangkat telepon, tak ada yang bisa kubayangkan selain berita baru yang mungkin akan mengubah segalanya lagi.
"Mas Andre dan Ita, kalian tahu kan sawah nenek di Magelang yang sudah lama terbengkalai? Simbah Putri memutuskan untuk menjualnya," ucap ibu mertua, suaranya terdengar mantap.
Aku menatap istriku yang tengah duduk di sebelahku, memegang cangkir tehnya dengan sedikit gemetar. Kami tahu sawah neneknya itu, luasnya sekitar satu hektar, tapi sudah lama tidak terurus karena semua anak-anaknya, termasuk ibu mertuaku, sibuk dengan kehidupan di kota.
“Sudah terbengkalai, tidak ada yang bisa merawat. Jadi, kami pikir ini keputusan terbaik,” lanjut ibu mertuaku.
Sawah itu terjual seharga 1,75 miliar rupiah, jumlah yang cukup besar mengingat sawah tersebut sudah lama tidak dibudidayakan. Dari hasil penjualan itu, uang tersebut dibagi rata kepada tujuh anak nenek, termasuk ibu mertuaku. Kami tidak menyangka bahwa langkah ini akan berdampak besar pada hidup kami.
“Bu, lalu apa yang ibu rencanakan dengan uang itu?” tanyaku, masih bingung dengan arah pembicaraan ini.
“Ta, bagian ibu dari penjualan sawah itu... akan ibu gunakan untuk melunasi hutang angsuran rumah kalian,” jawabnya dengan tenang.
Aku terdiam, begitu pula istriku. Berita ini seperti petir di siang bolong. Di satu sisi, ini tentu menjadi kabar gembira karena kami tidak lagi harus pusing memikirkan angsuran rumah yang tiap bulan terasa menekan. Namun, di sisi lain, aku tahu bahwa ini bukan hanya soal uang. Ini juga berarti bahwa keluarga istriku semakin dalam mencampuri kehidupan rumah tangga kami.
***