Mamah, Panda Ingin Sehat

Ita Mutiara Dewi
Chapter #24

Bab 23: Menantikan Kehadiran Buah Hati

Tahun 2012, usia istriku sudah 32 tahun, dan aku 31 tahun. Meskipun kami masih merasa cukup muda, tak bisa dipungkiri bahwa masalah usia mulai menjadi pertimbangan serius dalam hal rencana kehamilan. Ditambah lagi, ada tekanan tersirat dari kondisi fisik istriku yang kerap drop. Setiap kali kami membicarakan masa depan, terutama soal memiliki anak, rasanya seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Istriku, yang diharapkan segera menyelesaikan studi S3-nya, terus terjebak antara harapan keluarga besarnya dan impian pribadi kami untuk segera memiliki buah hati.

Dokter Candra adalah tempat kami menaruh harapan. Kami pertama kali bertemu dengannya sekitar dua tahun lalu, setelah beberapa bulan mencoba program kehamilan tanpa hasil. Sosok dokter ini memberikan kami rasa tenang. Dia tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang membuat kami takut atau cemas, meskipun ada beberapa hal yang mengkhawatirkan, seperti kondisi **Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)** yang dialami istriku. Meskipun dokter Candra tidak pernah secara eksplisit mengonfirmasi PCOS, dari beberapa diagnosa dan pembicaraan, kami tahu bahwa gejalanya sangat mirip. Tapi, yang paling kami syukuri, dokter Candra selalu optimis. Katanya, dalam waktu satu tahun program, insyaAllah, kami akan berhasil menimang buah hati.

Namun, tentu saja kenyataannya tidak selalu mulus seperti yang direncanakan. Hidup kami bukan hanya soal program kehamilan, ada juga beban lain yang tak kalah berat. Bapak dan ibu mertua serta keluarga besar istriku memiliki pandangan berbeda. Bagi mereka, fokus utama saat ini adalah agar istriku menyelesaikan S3-nya terlebih dahulu. Mereka selalu bilang, "Anak bisa ditunda, yang penting lulus dulu. " Bagi mereka, program kehamilan bukan prioritas, meskipun usia kami sudah kepala tiga. Namun, bagi kami, justru hal itulah yang menjadi alasan mengapa kami harus segera memulai. Kami tahu ada risiko kehamilan di usia di atas 30 tahun, dan dengan kondisi PCOS yang dialami istriku, kesempatan itu bisa semakin mengecil seiring bertambahnya waktu.

***

Selama satu tahun itu, kami menjalani program kehamilan di bawah bimbingan dokter Candra. Namun, prosesnya tidak semudah yang dibayangkan. Kami tidak bisa selalu rutin menjalankan program, karena istriku sering harus bolak-balik ke Malang untuk urusan studinya. Di sisi lain, aku juga sibuk menemani dia dalam upaya mencari ide untuk proposal disertasinya. Kami bahkan bertemu dengan beberapa teman dosenku dan mengunjungi beberapa dinas pemerintahan daerah yang aku kenal untuk mencari masukan. Namun, meskipun ada dukungan, dia tetap kesulitan untuk fokus dengan disertasinya. Beban pikiran dari kedua sisi—menjaga perasaanku dan keluargaku, serta menjaga perasaan keluarganya—membuat konsentrasinya terpecah.

Setiap kali dia kembali dari Malang, keadaannya sering terlihat lebih lelah daripada sebelumnya. Tekanan dari keluarganya semakin jelas. Mereka menginginkan dia segera menyelesaikan studi dan fokus pada karier akademisnya. Tetapi kami tahu, jika terus menunda kehamilan, risiko semakin tinggi. Hal ini menjadi dilema besar bagi istriku. Dia merasa terjebak di antara dua dunia: dunia akademis yang menuntut kesempurnaan dan tuntutan keluarga besar yang berharap dia menjadi sukses, serta dunia rumah tangga kami yang sederhana, di mana kami hanya ingin memiliki keluarga kecil yang bahagia.

Di saat-saat seperti itu, aku sering merasakan betapa rapuhnya kesehatan istriku. Imun tubuhnya mudah sekali drop, membuatnya rentan terhadap penyakit. Kondisi ini semakin menambah kecemasan, karena kami tahu bahwa kehamilan akan menjadi lebih sulit jika dia tidak berada dalam kondisi fisik yang optimal.

Lihat selengkapnya