Tahun 2017, adalah tahun yang penuh dengan tekanan dan ujian bagi kami berdua. Istriku sudah memasuki tahun terakhir dalam program S3-nya, namun disertasi yang seharusnya menjadi batu loncatan terakhir menuju gelar doktor tak kunjung selesai. Bukan karena dia tidak mampu, tetapi tekanan dari berbagai arah, baik keluarga maupun keadaannya sendiri, semakin menghambat kemajuan disertasinya. Situasi ini semakin rumit ketika beasiswa yang selama ini menopang biaya pendidikannya habis, membuat kami harus menanggung beban keuangan yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Keluarganya, terutama bapak mertuaku, sangat berharap dia bisa segera menyelesaikan studinya. Sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya yang diandalkan, prestasi akademis istriku menjadi kebanggaan keluarga besar, terutama bagi bapaknya yang melihat gelar doktor sebagai pencapaian yang sangat berarti. Namun, setiap kali istriku mencoba melangkah maju dengan disertasinya, ada saja halangan yang datang. Pikiran-pikiran tentang keuangan, kesehatan, dan tekanan dari keluarga besar menggerogoti fokus dan semangatnya.
Hubungan kami pun semakin renggang seiring waktu. Masalah keuangan yang semakin menekan membuat kami sering bertengkar. Istriku merasa bersalah karena belum bisa menyelesaikan studinya, sementara aku mulai merasakan dampak dari tekanan ini pada kesehatan mentalku. Makanan menjadi pelarian, dan tanpa kusadari, berat badanku semakin naik seiring dengan stres yang terus menumpuk. Pada saat yang sama, hubunganku dengan keluarga mertua, terutama bapak mertuaku, menjadi semakin tegang. Mereka melihat kesulitan istriku dalam menyelesaikan studinya sebagai kegagalan yang bisa mempengaruhi masa depannya.
***
Sebenarnya, sejak awal tahun 2015, kami sudah sadar bahwa menyelesaikan disertasi ini bukanlah hal yang mudah. Istriku sering kali merasa kewalahan dengan tuntutan akademis yang semakin tinggi, ditambah lagi dengan masalah keuangan yang kian mendesak. Beasiswa yang selama ini menjadi sandaran telah berakhir, dan setiap kali harus pergi ke Malang untuk konsultasi dengan promotornya, kami harus mencari cara untuk menutupi biaya perjalanan dan biaya hidup di sana.
“Kalau aku nggak segera menyelesaikan ini, kita nggak akan bisa keluar dari masalah ini, Mas,” ucap istriku di salah satu malam yang penuh kekhawatiran.
Aku tahu dia benar, tapi bagaimana kami bisa fokus pada penyelesaian disertasi kalau setiap hari yang kami pikirkan adalah bagaimana cara menutup biaya hidup? Setiap perjalanan ke Malang memerlukan biaya yang tak sedikit, belum lagi biaya kuliah yang terus berjalan meski dia belum lulus. Semakin lama, beban itu semakin menghimpit.
Aku, yang tadinya berusaha untuk tetap kuat dan mendukung, mulai kehilangan kesabaran. Sering kali kami bertengkar karena masalah kecil, tetapi selalu berujung pada satu masalah besar: uang. Kami harus membayar uang kuliah, biaya bolak-balik ke Malang, serta kebutuhan sehari-hari yang semakin mencekik.
"Kenapa kita harus terus-terusan seperti ini?" tanyaku dalam salah satu pertengkaran kami. "Kenapa kamu nggak bisa fokus aja dan cepat menyelesaikan disertasimu?"
Istriku, dengan mata berkaca-kaca, hanya bisa menunduk. Aku tahu dia terluka dengan perkataanku, tetapi aku juga tak bisa lagi menahan rasa frustrasi. Kami berdua berada dalam posisi yang sama-sama sulit, dan setiap hari rasanya semakin berat untuk dilalui.
***