Tahun 2019 adalah tahun yang tak akan pernah kulupakan. Bukan hanya karena kami dikaruniai anak kedua, tapi karena tahun itu juga menjadi awal dari berbagai perubahan besar dalam hidupku. Awalnya, kelahiran anak kedua kami adalah sesuatu yang mengejutkan. Kami tidak menjalani program kehamilan atau perencanaan khusus, namun saat kabar itu datang, kami tetap menerimanya dengan tangan terbuka. Sebuah keajaiban, pikirku, meski di lubuk hati aku tahu bahwa kehadiran seorang anak bukan hanya soal kebahagiaan, tetapi juga tanggung jawab yang besar.
Namun, dengan tanggung jawab besar itu pula, hadir tantangan yang tak kalah berat. Dari hari ke hari, kehidupanku bersama istriku mulai berubah. Bukan hanya kebahagiaan yang datang, tetapi juga berbagai masalah yang perlahan-lahan menghantam rumah tangga kami. Pertengkaran demi pertengkaran tidak bisa lagi kuhindari, terutama menyangkut masalah finansial. Seolah setiap rupiah yang kuhabiskan menjadi bahan perdebatan.
Istriku sering mengeluhkan bahwa aku boros. Katanya, aku tidak bisa makan seadanya, sementara dia sendiri jarang memasak karena kelelahan. Aku mengerti beban yang dia rasakan. Dia bekerja mengajar dan tanggung jawab kantor yang menumpuk sering kali membuatnya kehabisan tenaga sebelum sempat memikirkan urusan rumah. Ditambah lagi, mengurus dua anak kecil yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang bukanlah tugas yang mudah. Aku bisa melihat rasa lelah di wajahnya setiap kali dia pulang kerja, dan kadang aku merasa bersalah karena tidak bisa banyak membantunya.
Namun, ada sesuatu dalam diriku yang tak bisa kuterima begitu saja. Makan seadanya? Itu bukan caraku menjalani hidup. Sejak dulu sebelum menikah, aku selalu makan banyak namun tidak mahal dan itu dengan gajiku sendiri bukan dari gaji istriku. Mamahku pandai memasak di rumah sehingga bisa menghemat anggaran meski aku makan banyak. Bagiku makanan adalah pelarian, dan saat stres datang, keinginanku untuk makan justru semakin besar. Bukan hanya soal rasa lapar, tetapi lebih kepada rasa nyaman yang kudapat saat makanan yang lezat ada di depan mata. Tapi, semakin hari, kebiasaan ini justru menjadi akar masalah yang lebih besar dalam hubungan kami.
Di masa awal pernikahan, aku mungkin bukan pria bertubuh ideal, berat badanku 90kg tapi setidaknya berat badanku masih dalam batas yang wajar. Namun setelah kelahiran anak kedua, segala sesuatunya berubah drastis. Berat badanku yang awalnya 160 kilogram mulai merayap naik. Pada awalnya, aku tak terlalu khawatir. Naik beberapa kilogram adalah hal yang wajar, pikirku. Tapi, saat angka di timbangan menunjukkan 170 kilogram, aku mulai merasa ada yang salah. Lebih dari sekadar masalah penampilan, aku bisa merasakan tubuhku mulai memberontak. Setiap langkah terasa lebih berat, setiap aktivitas sehari-hari terasa lebih melelahkan. Dan yang paling menyakitkan, istriku semakin memperlihatkan kekecewaannya.
“Kamu nggak bisa jaga badanmu, ya?” kata istriku suatu malam setelah kami bertengkar soal hal yang sama lagi. “Aku capek kerja, urus anak, dan sekarang harus menghadapi Mas yang tambah gemuk setiap hari.”
Kata-katanya menusuk lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Tapi, di balik kemarahannya, aku tahu dia tidak bermaksud jahat. Dia lelah, sama seperti aku. Namun perbedaan kami adalah, dia menunjukkan kelelahannya dengan bekerja lebih keras, sementara aku tenggelam dalam kebiasaan makan yang semakin tak terkendali.
Waktu itu, aku bekerja di sebuah perusahaan IT. Sebelumnya aku berada di bagian marketing, pekerjaan yang memaksaku untuk sering bepergian dan bertemu klien. Pekerjaan ini memang menuntut fisik yang lebih aktif, dan mungkin inilah yang membantu menjaga berat badanku tetap stabil. Namun, setelah anak kedua lahir, aku dipindahkan ke bagian administrasi umum dan keuangan. Pekerjaan ini sangat berbeda. Kebanyakan waktu aku habiskan dengan duduk di depan komputer, mengurus laporan dan berkas. Pekerjaan ini memang lebih nyaman dalam hal fisik, tapi tanpa kusadari, berat badanku semakin naik drastis. Tak ada lagi aktivitas fisik seperti dulu, dan tubuhku mulai berubah secara drastis.
Pada awalnya, aku mengabaikan perubahan ini. Aku pikir ini hanyalah masalah sepele, sesuatu yang bisa kutangani nanti. Tapi, seiring dengan semakin bertambahnya beban pekerjaan, aku mulai merasakan tekanan yang luar biasa. Aku duduk berjam-jam setiap hari, tanpa ada kesempatan untuk bergerak. Saat sore tiba, yang ingin kulakukan hanyalah pulang dan makan. Makan menjadi pelarianku dari segala stres yang menghimpitku, baik di kantor maupun di rumah.