Mamah, Panda Ingin Sehat

Ita Mutiara Dewi
Chapter #27

Bab 26: Ojek Online, Makin Nambah Besar Badanku

Matahari siang bersinar terik di hari Sabtu dan Minggu, menembus kaca helmku yang sudah berkeringat. Setiap kali menyeka pelipis, tanganku kembali basah dalam hitungan detik. Yogyakarta sekarang ini memang tak pernah bersahabat bagi seorang pengemudi ojek online sepertiku. Panas, macet, dan jalanan yang seakan tak pernah henti dipadati kendaraan. Tapi, ada sesuatu yang lebih menggangguku daripada sekadar panas atau macet: rasa lapar yang selalu datang tanpa diundang.

Aku full ngojek di hari Sabtu dan Minggu, sedangkan hari senin hingga jum'at, aku narik ojek selepas mangrib, selesai kerja kantoran.

Aku masih ingat alasan awal aku memutuskan untuk menjadi pengemudi ojek online. Kehidupan kami semakin sulit, terutama setelah kelahiran anak kedua. Gaji dari pekerjaan kantorku sebagai pegawai administrasi di perusahaan IT tidak lagi cukup menutupi kebutuhan rumah tangga yang semakin menumpuk. Beban keuangan kami terus bertambah, sementara pengeluaran untuk dua anak, tagihan listrik rumah 1300 watt yang membengkak hingga Rp 500.000,- yang aku heran apa karena jaringan listrik di rumah ada yang bocor atau karena memang rumah kami tidak penuh cahaya sehingga pagi sampai malam di ruang tidur maupun ruang tamu harus menghidupkan lampu, kebutuhan paket data telepon dan kebutuhan sehari-hari yang seperti tidak ada habisnya.

Hari-hari berlalu, dan berat badanku terus bertambah. Aku mulai sadar bahwa kondisi ini bukan lagi tentang kenyamanan atau rasa puas saat makan. Ketika aku berusaha membeli baju baru di toko pakaian biasa, ukurannya selalu tidak cukup. Ini memaksaku untuk membeli baju di marketplace yang menyediakan ukuran khusus, tetapi tentu saja harganya tidak murah. Kaos sederhana pun bisa mencapai Rp 200.000,-, hampir dua kali lipat harga baju biasa yang dulunya kupakai dengan santai.

Lain halnya dengan celana panjang. Sebagai alternatif, aku sempat mencoba memermak celana lama. Kain tambahan di sisi-sisinya menjadi solusi sementara, walau hasilnya kadang tak begitu rapi dan mulai terasa ketat lagi seiring bertambahnya berat badanku. Pada akhirnya, aku membuat celana panjang baru yang memakan bahan hingga tiga meter. Harga satu potong celana panjang dari bahan paling murah tapi nyaman saja bisa mencapai Rp 200.000,- sudah termasuk ongkos jahit. Biaya ini mulai menumpuk, dan setiap kali kubelikan baju baru, semakin terasa beban finansialnya.

Dik Ita tidak marah atau mengeluh, tapi ada suatu sore di mana ia menatapku dalam-dalam sambil bertanya, “Mas, kira-kira sampai kapan jenengan ingin menjalani hidup seperti ini?” Tatapannya bukan kemarahan, tapi penuh kekhawatiran. Sebuah pertanyaan yang membuatku berpikir lebih jauh.

Namun, bukan hanya pakaian. Kebutuhan sehari-hari pun mulai bertambah. Sabun cuci baju dan sabun mandi yang kuperlukan bisa dua sampai tiga kali lipat dari manusia normal. Bahkan minyak kayu putih untuk meredakan pegal-pegal juga harus kusiapkan lebih banyak dibandingkan orang dengan ukuran tubuh normal. Rasa lelah lebih cepat datang, dan rutinitas yang tadinya hanya membeli kebutuhan biasa kini jadi bertambah anggarannya karena semuanya harus disesuaikan dengan kebutuhanku yang meningkat.

Pertanyaan Dik Ita hari itu terus berputar di benakku. Sampai kapan? Entah sejak kapan semua ini terasa seperti labirin yang tak kunjung berakhir. Aku mulai merasakan bahwa penyesuaian demi penyesuaian yang kubuat justru membuatku semakin terperangkap dalam kenyamanan semu yang kian membatasi gerakku.

Setiap kali aku mengenakan celana baru atau kaos khusus yang kubeli dengan harga mahal, aku merasakan kegelisahan. Ini bukan lagi tentang mampu membeli atau tidak, tapi tentang hidup yang perlahan semakin sulit karena pilihan-pilihan kecil yang seharusnya bisa kuubah. Dik Ita, dalam diamnya, menjadi pengingat bahwa kebiasaan ini bukan hanya berdampak pada diriku, tapi juga pada kehidupan kami bersama.

***

Keputusan untuk menjadi ojek online adalah langkah terakhir. Aku berharap, dengan pendapatan tambahan, setidaknya beban keuangan kami bisa sedikit berkurang. Namun, aku tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sampingan ini justru membawa masalah baru dalam hidupku—berat badan yang semakin naik, melampaui batas yang bisa kuterima.

Lihat selengkapnya