Mamah, Panda Ingin Sehat

Ita Mutiara Dewi
Chapter #30

Bab 29: Jalan terjal setelah PHK

Tahun 2021 adalah tahun yang kelam bagiku. Pandemi COVID-19 masih bergelombang, dan kehidupan seolah berada dalam kabut yang pekat. Namun, di balik tantangan yang dihadapi banyak orang, pukulan terbesar justru datang dari tempat yang paling tak terduga—kantorku sendiri. Setelah mengabdi selama 17 tahun, aku di-PHK dengan tidak hormat, dan hal ini benar-benar merubah hidupku secara drastis.

Sejak awal karierku di perusahaan tersebut, aku tahu bahwa gaya komunikasiku memang berbeda dari kebanyakan orang. Aku terbiasa bersikap tegas dan ceplas-ceplos dalam menjelaskan sesuatu. Aku percaya bahwa kejelasan dan keterusterangan adalah kunci dalam menjalankan bisnis, terutama di dunia teknologi informasi. Namun, tidak semua orang bisa menerima sikapku ini. Rekan-rekan kerjaku, Romi dan Joni, adalah orang-orang yang paling tidak suka denganku. Bagi mereka, caraku berbicara sering kali dianggap kasar dan sombong, padahal niatku hanya ingin segala sesuatu berjalan dengan lancar dan transparan.

Selain itu, ada satu hal lain yang memperburuk situasi—hubunganku dengan bosku, Om Derry. Ya, dia memang Om jauhkku, dan sejak awal bekerja di perusahaan ini, banyak orang menganggapku sebagai "anak emas" di mata Om Derry. Meskipun aku selalu berusaha bekerja keras dan membuktikan kemampuanku, tuduhan sebagai anak emas membuat posisiku di antara rekan-rekan kerja semakin tidak nyaman. Mereka menganggap semua pencapaianku bukan karena kerja keras, melainkan karena kedekatanku dengan Om Derry. Padahal, aku telah memenangkan banyak tender besar untuk perusahaan, bahkan ada satu tender yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Semua itu hasil kerja keras, strategi, dan pengalamanku dalam dunia teknologi informasi.

Namun, pandemi datang dan mengubah segalanya. Dunia teknologi informasi juga bergerak cepat, dan banyak instansi, yayasan, serta perguruan tinggi yang mulai mengembangkan sistem informasi akademik mereka sendiri. Perusahaan tempatku bekerja mulai kesulitan mendapatkan proyek baru. Pendapatan menurun drastis, dan suasana kantor menjadi semakin tegang.

***

Suasana kantor begitu senyap saat aku memasuki ruangan pagi itu. Mata beberapa rekan kerja yang tertuju padaku seperti biasa terasa berat, menyelidik. Ini bukan hal baru. Sejak awal bekerja di perusahaan milik Om Derry, aku tahu akan ada stigma yang menempel padaku, terutama dari rekan-rekan yang mengenal kedekatan keluargaku dengan Om Derry. Bagaimana pun aku bekerja keras, pandangan mereka tampaknya sudah terkunci pada satu kesimpulan: aku hanya “anak emas” di mata bos.

Meski aku selalu berusaha menunjukkan kemampuan dan dedikasiku, tuduhan bahwa kesuksesanku semata karena koneksi keluarga terus membayangi langkahku. Bahkan ketika aku berhasil memenangkan tender besar yang nilainya mencapai miliaran rupiah—satu kemenangan yang kudapatkan dengan kerja keras dan strategi matang—mereka tetap meremehkan. Banyak dari mereka menganggap semua itu bukan karena usahaku, melainkan karena “kebaikan” dari Om Derry.

Suatu hari, situasi yang sudah tak nyaman itu berubah semakin rumit. Pandemi datang, dan seluruh dunia berubah. Perusahaan yang dulunya selalu mendapatkan proyek baru tiba-tiba harus berjuang keras untuk tetap bertahan. Suasana di kantor semakin tegang; pendapatan perusahaan menurun, dan para klien dari berbagai instansi, yayasan, serta perguruan tinggi mulai membangun sistem informasi mereka sendiri, tanpa melibatkan pihak luar.

Di tengah kekhawatiran itu, Om Derry mengajakku berbicara di ruangannya.

"Gimana, Ndre? Udah ada proyek baru yang masuk?" tanya Om Derry, Aku menggeleng pelan, menunjukkan laporan yang sudah kususun.

"Belum, Om. Pasar sekarang memang sudah berubah. Banyak klien yang lebih memilih membangun tim internal untuk menangani sistem informasi mereka. Kita kehilangan tender yang sudah pasti."*

Om Derry mendesah, menyandarkan tubuhnya di kursi. Matanya menatap jauh, memikirkan hal yang sama yang kualami akhir-akhir ini: masa depan perusahaan.

“Jadi kita sekarang harus lebih inovatif, Ndre. Kamu tahu perusahaan ini sudah di ujung tanduk. Kalau nggak ada pemasukan bulan ini, mungkin kita harus melakukan pengurangan karyawan." Aku terdiam, mencoba memikirkan solusi yang bisa membantu situasi. Namun, kepalaku terasa penuh, dan beban yang kurasakan dari para rekan kerja semakin memberatkan.


Beberapa hari kemudian, saat aku sedang memeriksa dokumen di ruangan, dua rekan kerja, Romi dan Joni, berbicara di dekat mejaku. Mereka tidak tahu bahwa aku mendengarkan.

"Andre, memang selalu enak, ya? Tinggal lapor Om-nya tiap ada masalah." Kata Romi "Iya, meski perusahaan mulai susah, anak emasnya pasti tetap aman.” Kita yang lain cuma nunggu giliran dipotong gaji."kata Joni.

 Mendengar percakapan mereka membuatku ingin mendekat dan meluruskan kesalahpahaman. Namun, aku tahan diriku. Kupikir tidak akan ada gunanya mencoba membela diri di hadapan mereka yang sudah terlanjur menilai buruk.


Tidak lama kemudian, aku mendapat pesan dari Om Derry, meminta aku mempersiapkan strategi pemasaran baru yang bisa menarik kembali perhatian klien lama. Itu tugas yang berat, terutama di situasi perusahaan yang semakin tak menentu. Namun, aku tahu inilah kesempatan untuk membuktikan diri.

Di ruang rapat keesokan harinya, aku mempresentasikan rencana yang telah kususun dengan cermat, menjelaskan peluang di bidang teknologi informasi yang masih bisa kita manfaatkan.

"Saya usul, kita fokus pada solusi sistem berbasis AI untuk sektor pendidikan, dan kita bisa memperluas sistem informasi maupun membuat aplikasi semacam marketplace, Om. Pandemi ini membuat sistem belajar dan belanja online semakin berkembang. Kalau kita bisa menyusun paket layanan yang menarik, bisa jadi kita mendapatkan beberapa proyek baru. "Om Derry tampak mempertimbangkan idenya. Namun, di sudut ruangan, Romi menatap dengan skeptis.

"Idenya memang bagus, Ndre. Tapi siapa yang bakal percaya sama perusahaan kita? Klien pasti menganggap kita cuma numpang lewat aja. Komentarnya tidak menghentikanku. Aku melanjutkan dengan percaya diri, menunjukkan keuntungan dan strategi pemasaran yang sudah kususun untuk menarik perhatian pasar. Saat aku keluar dari ruang rapat, tatapan dingin dari beberapa rekan kerja kembali menyergap.

Di perjalanan pulang hari itu, pikiranku bergelut dengan dilema. Meskipun berusaha keras membuktikan diri, beban menjadi “anak emas” tak pernah surut. Pandemi telah membawa perusahaan ini ke ambang kehancuran, dan semua orang tengah bergulat dengan ketakutan kehilangan pekerjaan. Aku memahami perasaan mereka, namun tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan terhadapku semakin memperburuk suasana.

Aku sadar, satu-satunya jalan adalah terus bekerja dan menunjukkan hasil nyata. Entah bagaimana akhirnya, aku hanya bisa berharap bahwa di tengah masa sulit ini, kerja kerasku akan membuka mata mereka, membuktikan bahwa aku ada di sini bukan karena koneksi keluarga, melainkan karena dedikasi yang sungguh-sungguh untuk membawa perubahan bagi perusahaan.

Lihat selengkapnya