Sejak awal pandemi COVID-19 pada tahun 2020, hidupku sudah penuh dengan kesulitan. Bekerja dari rumah (WFH) sebagai karyawan IT sambil mencari tambahan pendapatan sebagai pengemudi ojek online membuat waktu dan tenagaku terkuras habis. Namun, yang tak pernah kusangka, kesulitan terbesar justru datang dari tetanggaku sendiri, Leo dan anaknya, Ardo. Keluarga mereka tampak seperti kombinasi sempurna antara kesombongan, rasa superioritas, dan arogansi yang mematikan. Sejak awal lockdown hingga tahun 2024, perseteruan antara kami terus memburuk, membentuk babak kelam dalam hidupku yang tak kunjung selesai.
Awal konflik itu sederhana, hampir tak terduga. Istriku, hanya ingin memastikan apakah keluarganya bisa datang berkunjung ke desa kami meskipun ada lockdown lokal. Pandemi membuat segalanya tidak pasti, dan ibu mertuaku dan adik iparku tinggal hanya 5 kilometer dari rumah kami. Dalam suasana pandemi, jarak tersebut tidaklah jauh, namun kami tak ingin melanggar aturan.
Sore itu, istriku bertanya kepada Ardo, anak tetanggaku, yang sedang berjaga di pos keluar masuk desa. Meskipun dia hanya seorang remaja usia SMA anggota paguyuban pemuda desa yang kebetulan sedang diberi tanggung jawab piket sebagai penjaga pintu keluar masuk lock down pandemi Covid di desa.
"Mas, boleh nggak ibu saya sama adik saya datang kesini? Jaraknya cuma 5 kilometer, masih di sekitar sini kok," tanya istriku dengan nada yang sopan.
Namun, bukannya menjawab dengan baik, Ardo dengan nada kasar menjawab, "Nggak...nggak boleh. Jangan sok tahu. Semua yang datang dari luar kota nggak boleh masuk!" Ekspresi wajahnya dingin, seolah-olah kami adalah musuhnya.
Ardo tidak hanya merendahkan istriku, tetapi juga dengan ekspresi kebencian yang tak bisa kukendalikan, seolah-olah kami adalah orang luar yang tidak pantas ada di desa ini.
Istriku mencoba bertanya kepada Arif, ketua paguyuban pemuda desa. Bagaimanapun, peraturannya masih bisa dinegosiasi, dan aku yakin Ardo hanya terlalu sok tahu.
"Mas Arif, ibu mertua dan adik ipar saya tinggalnya cuma 5 kilometer dari sini, masih dekat-dekat sini juga. Boleh kan mereka datang?"
Arif, yang jauh lebih masuk akal dibanding Ardo, menjawab dengan tenang, "Boleh, Bu. Yang nggak boleh datang itu yang dari luar Yogyakarta. Kalau masih dari sekitar sini ya nggak masalah koq." jawab Arif dengan santun dan bijak.
Tapi meski masalah itu terselesaikan, kejadian ini memicu rentetan masalah yang lebih besar. Ardo dan Leo mulai bersikap semakin arogan dan memperlihatkan ketidaksukaannya kepada kami secara terang-terangan. Mereka memandang kami seolah-olah kami adalah ancaman, atau setidaknya, sesuatu yang harus mereka hancurkan.
Satu peristiwa kecil berujung pada masalah besar yang semakin memburuk seiring waktu. Tak lama setelah itu, Ardo dan Leo mulai menunjukkan permusuhan lebih lanjut. Mereka mulai menutup akses jalan di depan sawah yang biasa aku lewati untuk bekerja atau mengambil penumpang sebagai pengemudi ojek online. Jalan itu sebenarnya bukanlah milik pribadi, tapi Leo bertindak seolah-olah jalan itu adalah miliknya sendiri.
Tak berhenti di situ, saat ada tetangga lain memutuskan untuk memasang jaringan internet, masalah lain muncul. Ketika petugas datang untuk memasang kabel, bukannya meminta izin dariku sebagai pemilik rumah, mereka justru meminta izin kepada Leo. Hal ini membuat darahku mendidih.
Aku segera mendatangi Leo di depan rumahnya. "Mas Leo, kenapa petugas minta izin ke kamu? Ini kan rumah saya, bukan rumah kamu."
Dengan nada sombong, Leo hanya menjawab, "Ya kan kabelnya lewat depan rumah saya. Makanya, izin dulu ke saya." "Tapi masalahnya kabelnya juga lewat depan rumahku dan hanya berjarak 1 meter dari atap rumah, kalau terjadi percikan api dan kebakaran yang rugi ya aku yang tidak selamat, penjelasanku. "Lagipula kalau beberapa tahun ke depan kami ingin membuat rumah menjadi tingkat dua kan harus diperbaiki kabel jaringan internetnya," tambah istriku.
"Aduh hiperbol, Kamu siapa? Sok-sokan saja, Nggak mungkin rumahmu kena percikan api dan kebakaran. lagipula bukan bulan ini kan, Kamu mau ningkat rumah," jawabnya dengan nada meremehkan.
Pertengkaran pun tak bisa dihindarkan. Sejak saat itu, hubungan kami dengan Leo dan keluarganya semakin memburuk. Bahkan ketika aku hanya memberi saran agar dia berhati-hati saat memperbaiki atap rumahnya—karena rumah kami berdempetan—dia malah tersinggung dan mengejek keluargaku.
"Hati-hati, Mas, atap kita kan dempet, jangan sampai ada yang rusak," kataku ketika dia sedang memperbaiki atap rumahnya pada tahun 2023.
Namun Leo malah balas mengejek, "Apa urusanmu? Lagian, mana mungkin orang kayak kamu ngerti soal bangunan. Tukangku sudah super ahli dan pengalaman bertahun-tahun, kalau perlu rumahmu dilaminating aja." katanya sinis. kamu juga ndak bikin pondasi dapur sendiri tho? katanya menuduh
"Lho, dulu waktu aku bangun rumah, jenengan bilang suruh pondasi sendiri, padahal tanpa disuruh dan dimarahi jenengan pun, aku bikin pondasi, kalau ndak percaya, ayo kita ke dapurku maupun belakang rumahku untuk ngecek pondasi" kataku.
"Ndak, ndak usah"..katanya tertohok. "Bu, kowe koq yo gelem, dieret-eret rene karo anakmu, ngopo melu-melu" ---Bu,kamu koq mau aja diajak kesini sama anakmu=dalam bahasa Jawa kasar" katanya merendahkan Mamah Budi. "Wedokanmu mau yo moto2 ngarep omah, ngopo wae?--perempuanmu tadi juga memfoto depan rumah, ngapain aja=dalam bahasa Jawa kasar" katanya merendahkan istriku. Saya kesini bukan karena direndahkan anakku, tapi justru menengahi, biar tidak berakhir ribut atau konflik tapi damai, menantu saya memfoto karena mau melihat bagian atap rumah yang mana yang harus diperbaiki, bukan minta ganti rugi atau mau ribut sama jenengan, Nak Leo," kata Mamah Budi. Perkataan Leo tersebut menusuk hingga ke dalam hati. Dia menghina keluargaku. Bahkan, dia pernah secara terang-terangan mengejek ibuku dan istriku, membuat situasi semakin panas. Hal ini benar-benar menghancurkan batas kesabaranku.
Setelah mendengar penjelasan dari Mamah Budi, akhirnya konflik berakhir, Leo dan aku bersalaman. Namun berakhirnya konflik ini hanya bersifat sementara karena, saat Leo kusapa, ia langsung mlengos alias mengarahkan pandangan ke arah lain. tidak mau memandangku.
***
Belum lagi tiap pagi, bahkan sebelum matahari terbit, suara mesin mobil Leo selalu terdengar dari halaman. Bukannya menghidupkan mobil dengan tenang, Leo sepertinya justru menikmati momen itu. Ia menggeber-geber gasnya, membuat mesin meraung-raung. Suara bising itu memecah ketenangan pagi yang seharusnya damai, menjalar masuk ke setiap sudut rumahku, merobek mimpi dan ketenangan tidurku.
Yang lebih parah lagi adalah asapnya. Tiap kali Leo memanaskan mobilnya, asap tebal berwarna kelabu melayang dan masuk lewat jendela rumahku yang tak sempat kututup. Asap itu berbau tajam, membuat paru-paruku serasa dicekik. Aku sering batuk-batuk, sesak napas seketika menyerang, memaksaku menutup pintu dan jendela dengan rapat, bahkan di tengah cuaca panas.
Suatu sore, aku menyadari bau bensin yang menyengat dari arah selokan di depan rumah. Kupikir awalnya mungkin itu hanya kebocoran kecil dari mobil Leo. Tapi, semakin lama, aroma bensin itu semakin kuat. Ternyata, Leo punya kebiasaan baru: ia membuang bensin ke dalam selokan depan rumah saat membersihkan sisa-sisa dari mobilnya. Bau bensin bercampur dengan aroma tak sedap dari selokan, menyusup ke dalam rumah, menembus hidung hingga terasa ke saraf, menambah beban yang sudah cukup berat untuk kutanggung setiap hari.
Tak hanya di pagi atau sore hari, kebiasaan Leo sering kali memuncak saat malam tiba. Jika orang lain biasanya menikmati suasana malam dengan tenang, Leo tampaknya justru merasa waktu itu paling tepat untuk memamerkan suara mesin mobilnya. Raungan knalpot mobilnya membelah malam yang sunyi, membangunkanku dari tidur yang sempat kurasa nyaman sejenak. Kepalaku berdenyut mendengar suara menggelegar itu, sementara yang bisa kulakukan hanyalah merapalkan doa dalam hati agar kebiasaan ini segera berakhir.
Hidup bertetangga, aku sadari, selalu menuntut kompromi dan pengertian. Namun, Leo—dengan segala kebiasaan yang kerap mengganggu—terasa seperti ujian sabar yang semakin berat bagiku. Tiap kali kulihat mobilnya terparkir di depan rumah, ada rasa was-was yang sulit kujelaskan, seolah kedamaian hidupku kini tergantung pada kapan dia akan kembali menghidupkan mesin mobilnya dan mengganggu ketenangan kami semua.
Akhirnya aku pun mengadukan perihal Leo ke Pak RT. “Pak RT,” kataku membuka percakapan, “saya ingin mengadu tentang kebiasaan Leo. Tiap hari dia memanaskan mobil dan asapnya masuk ke rumah. Belum lagi dia membuang bensin ke selokan depan rumah. Saya sampai sesak napas dibuatnya.”
Pak RT tampak mendengarkan, tapi wajahnya sudah menunjukkan ekspresi enggan. “Oh, soal Leo ya?” Ia menghela napas panjang, menggaruk kepala seolah sudah tahu arah pembicaraan ini.
“Saya paham, Pak. ,” katanya dengan nada pelan, berusaha menjelaskan.
“Kalau begini terus, kesehatan kami yang terganggu. Belum lagi kebisingan di malam hari. Ini kan mengganggu ketentraman kampung.”