Perjalanan menuju sehat dimulai bukan dari perubahan fisik, melainkan dari sebuah momen kecil, ketika aku berdiri di depan cermin kamar mandi, memandangi diriku sendiri. Tubuhku terasa berat, bukan hanya karena bobot fisik yang semakin membebani setiap langkah, tetapi juga oleh beban emosional yang kusimpan bertahun-tahun. Kesedihan, kemarahan, dan luka yang tersembunyi di balik senyum palsu dan tawa getir. Semua itu akhirnya membuatku menyerah pada kebiasaan makan berlebihan. Namun, pada hari itu, aku tahu ada yang harus berubah.
Pertemuan pertama dengan dokter Nugroho pada April 2024, menjadi titik balik. Dokter penyakit dalam Rumah sakit Kabupaten yang sudah bertahun-tahun mengenalku ini akhirnya memutuskan bahwa perawatanku tak bisa lagi ditunda. "Ini bukan hanya masalah berat badan," katanya dengan nada serius, "Ini masalah kesehatan secara keseluruhan. Kita harus menanganinya dari berbagai aspek."
Aku dihadapkan dengan fakta bahwa kondisi kesehatanku sudah mencapai titik kritis. Berat badanku yang mencapai 230 kg menjadi ancaman serius bagi tubuhku. Dokter Nugroho segera merujukku ke RSUD, di mana aku akan ditangani oleh tim dokter spesialis yang akan bekerja sama untuk memulihkan kesehatanku—bukan hanya fisik, tapi juga mental. Meskipun demikian, tiap tiga bulan sekali, aku harus menemui dokter Nugroho untuk ikut memantau kesehatan organ dalamku secara umum khususnya berkaitan dengan penyakit asma dan hipertensiku. Sehingga relasiku dengan dokter Nugroho tetap terjalin erat
***
Aku menarik napas panjang sebelum melangkahkan kaki keluar rumah. Badanku terasa berat, bukan hanya karena timbangan yang menunjukkan angka fantastis, tapi juga karena pikiran yang terus menghantui. Hari ini adalah salah satu kunjungan ke RSUD yang mungkin akan menjadi titik penentuan dalam proses penanganan obesitasku.
Kutap-tap layar ponsel untuk memesan mobil online, berharap agar kendaraan yang datang cukup nyaman dan memadai. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil besar berhenti di depan rumah. Aku menatapnya sambil menghela napas. "Bismillah," ucapku dalam hati. Sopir keluar dengan senyuman sopan.
"Selamat pagi, Pak. Saya bantu ya," ucapnya, ramah.
"Kursi depan bisa dimajukan, Pak? Biar kaki saya bisa muat di kursi tengah," pintaku.
Tanpa banyak tanya, Pak sopir langsung mengatur kursi depan agar aku bisa mendapatkan ruang lebih luas. Dengan susah payah, aku masuk ke dalam mobil. Begitu tubuhku duduk, mobil sedikit bergoyang ke kiri. Rasanya tidak nyaman, tapi aku mencoba mengabaikannya.
“Maaf, Pak. Mobilnya nggak apa-apa, kan? Kayaknya agak miring ke kiri,” tanyaku ragu.
“Tidak apa-apa, Pak. Semua aman kok,” jawabnya sambil tersenyum. Jawaban yang entah menghibur atau sekadar menenangkan.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku menatap ke luar jendela, mencoba mengabaikan ketidaknyamanan di pikiranku. Di sebelahku, istriku,aku biasa memanggilnya Dik Ita atau Bu Ita, duduk tenang, menemani dengan tatapan penuh pengertian.
"Bu, kalau nanti dokter nyuruh operasi bariatrik, aku mau langsung pulang saja," ujarku tiba-tiba. "Aku nggak siap, Bu. Aku nggak mau operasi.” Bu Ita menatapku, tersenyum agak terpaksa seperti biasanya. “Iya, Yah. Aku nggak pernah maksain kamu buat melakukan apa pun. Semua ini kan buat kebaikan jenengan sendiri. Jenengan yang menjalani.”
Mas ingat kan, jenengan kemarin menelpon Mamah Budi dan kemarin aku telpon Mamah Bari di Malang. jenengan denger sendiri tho, kemarin? kata Bu Ita.
***