Hari itu, aku sampai di RSUD dengan perasaan cemas. Poliklinik endokrin tempat janji temu dengan dokter berada di lantai empat. Ketika melangkah menuju elevator, aku bisa melihat kerumunan pasien dan pengunjung menumpuk di depan lift yang bergerak lambat dan penuh sesak. Menunggu lebih lama akan menambah kegelisahanku, jadi kuputuskan untuk mencoba tangga berjalan.
Begitu menginjak tangga pertama, aku menarik napas panjang. Menaiki tangga berjalan ke lantai empat adalah hal yang tak pernah kuperkirakan. Setiap anak tangga terasa seperti satu langkah mendaki gunung. Langkahku tertatih, dan dalam hitungan detik, kakiku sudah mulai lelah. Dada terasa sempit, dan napasku mulai pendek-pendek. Tapi aku tetap bergerak, meski perlahan, sambil mencari tempat berhenti sejenak di setiap lantai.
Di lantai dua, aku duduk di bangku kecil yang tersedia, mencoba mengatur napas. Dari jarak dekat, kudengar obrolan orang-orang yang juga menunggu lift. Ada yang menatapku dengan iba, mungkin bisa melihat betapa letih dan berkeringatnya aku hanya setelah dua lantai.
Setelah beberapa menit, kuambil lagi kekuatan untuk melanjutkan perjalanan ke lantai tiga. Napasku makin berat, dan setiap langkah menambah beban yang terasa hingga lutut. Kutahan agar tak berhenti di tengah, sebab aku tahu akan semakin sulit untuk melanjutkan. Tangga berjalan terasa seperti bergerak pelan, dan setiap hentian terasa terlalu singkat untuk bisa mengistirahatkan tubuh ini sepenuhnya.
Ketika sampai di lantai tiga, tubuhku hampir menyerah. Aku terduduk di pinggir tangga, menarik napas panjang sambil menyeka keringat yang membasahi wajah. "Satu lantai lagi," gumamku, menguatkan diri.
Akhirnya, aku sampai di lantai empat dengan langkah terseret. Pandanganku tertuju ke pintu poliklinik endokrin di ujung lorong. Rasanya seperti garis akhir dari perjuangan panjang. Dalam hati, aku tahu ini baru permulaan dari perjalanan yang penuh tantangan untuk meraih kesehatan. Tapi sore itu, hanya dengan menyelesaikan empat lantai di tangga berjalan, aku sudah membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa bertahan.
Saat menunggu giliran masuk ke ruangan dokter, kuhela napas panjang, mengatur sisa-sisa tenaga. Apa pun yang terjadi nanti, aku tahu langkah kecil yang kuambil hari ini adalah awal dari banyak langkah lain. Perlahan, namun pasti, aku akan melanjutkan perjalanan ini menuju hidup yang lebih sehat dan kuat.
***
Siang itu, ruang tunggu poliklinik endokrin dipenuhi orang. Aku dan Bu Ita sudah menunggu hampir satu jam lebih dari jadwal yang ditentukan, dan rasa lelah bercampur dengan amarah mulai menguasai diriku. Setiap detik yang berlalu terasa makin berat, dan setiap kali nama pasien lain dipanggil, kesabaranku semakin terkikis.
“Kalau nggak segera dipanggil, aku mau pulang saja, Bu. Capek banget!” kataku dengan nada tinggi, sambil melirik jam di pergelangan tangan. Ita terlihat gusar dan sedikit cemas. Ia tahu aku sedang di ujung batas kesabaran, tapi tetap saja mencoba menenangkanku.
“Yah, sabar sedikit lagi ya. Aku coba tanyakan lagi ke petugas,” jawab Bu Ita, suaranya setenang mungkin, meski matanya menunjukkan kecemasan. Dia berdiri dan berjalan cepat ke arah meja administrasi. Kulihat dari kejauhan, Ita sedang berbicara dengan petugas di sana, tangannya mengisyaratkan memohon agar giliranku dipercepat.
Namun, petugas di depan meja hanya mengangguk pelan dan kembali mengarahkan pandangannya ke layar komputer. Bu Ita kembali ke kursi dengan wajah lesu, dan kulihat matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku sudah bilang, tapi mereka bilang dokter Hemi punya daftar panjang, jadi kita tetap harus menunggu,” ujarnya dengan suara sedikit gemetar. Kulihat perjuangan di matanya, bagaimana ia berusaha keras agar aku bisa segera mendapatkan giliran.
Aku menghela napas panjang, mencoba menahan rasa kesal yang semakin memuncak. “Kalau masih lama, aku benar-benar mau pulang saja, Bu. Buang-buang waktu aja di sini!” kataku lagi, suaraku cukup keras hingga beberapa orang di ruang tunggu melirik ke arah kami.
Mendengar itu, Bu Ita langsung berdiri lagi dan bergegas ke arah meja administrasi. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas, dengan nada memohon yang penuh rasa putus asa. “Tolong ya, Pak... Suami saya sudah tidak kuat lagi. Dia sudah menunggu lama dan... keadaannya tidak mudah. Bisa nggak, Pak, dipercepat?” Suaranya terdengar sedikit bergetar, dan seolah-olah menahan tangis.