Hidupku penuh dengan nuansa suka dan duka, tidak flat begitu saja. Selain pengalaman tentang gempa yang membuatku semakin waspada dan panik karena gempa, hidupku menjadi lebih berwarna dengan menemukan hobi baru, yaitu bersepeda alias gowes. Awalnya, aku hanya ingin mencari kegiatan yang bisa menjadi pelepas kepenatan dari rutinitas bekerja. Namun, semakin lama aku bersepeda, semakin aku jatuh cinta dengan olahraga ini. Aku bergabung dengan beberapa komunitas sepeda, seperti komunitas sepeda lipat dan komunitas sepeda santai yang sering berkeliling Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunungkidul, Boyolali, Wonogiri, Klaten, Delanggu, Surakarta, Kartasura, dan Karanganyar.
Setiap akhir pekan, kami menjelajahi rute-rute baru yang menantang, menikmati keindahan alam, dan tentu saja, mempererat tali persaudaraan di antara sesama anggota komunitas. Di satu sisi olahraga bersepeda ini menyenangkan dan dapat menjadi sarana membakar kalori. Badanku tetap stabil di angka 95kg, tergolong besar memang tetapi aku sehat...Di sisi lain, setiap gowes, komunitas kami selalu mampir menikmati kuliner lokal di warung-warung blusukan sepanjang rute perjalanan. Namanya kulineran, aku tetap waspada meskipun makan banyak, olahraga gowes harus kencang agar berat badanku tidak naik akibat sering makan maupun tidak bisa nolak saat ditraktir teman. Kebetulan banyak anggota komunitas gowes yang super tajir, sehingga mentraktir banyak orang itu semudah membalik telapak tangan.
Salah satu kegiatan yang paling menarik adalah ketika bergabung dengan komunitas Sepeda Sabtu Super Seram. Sesuai dengan namanya, komunitas ini memiliki misi unik untuk menjelajahi tempat-tempat yang kabarnya horor atau berhantu.
Pernah suatu kali, kami melewati sebuah rumah tua yang terkenal angker. Beberapa teman mengatakan pernah melihat sosok hantu noni Belanda di sana. Malam itu, kami bersepeda melewati rumah tua yang berdiri di pinggir jalan, kebetulan hanya 1 km dari rumahku di Kalasan. Rumah tua itu tersembunyi di balik pepohonan rindang. Rumah itu sudah lama tidak terurus, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela yang berderit setiap kali angin bertiup. Beberapa dari kami menelan ludah, merasa ada sesuatu yang janggal di udara. Rumah itu adalah milik seorang pelukis ternama yang meninggal bertahun-tahun lalu. Setelah kematiannya, rumah itu menjadi rebutan antara dua istrinya, dan sejak saat itu tak ada yang merawatnya. Mereka bilang, rumah itu kini menjadi tempat tinggal sosok-sosok yang tak kasat mata.
Ketika kami melewati pagar yang sudah berkarat, salah satu temanku tiba-tiba berhenti bersepeda. Wajahnya pucat, matanya terbelalak. "Lihat... di sana..." katanya dengan suara bergetar, menunjuk ke arah taman yang terlihat dari jalan. Kami semua menoleh, dan di ujung taman itu, berdiri sosok seorang wanita bergaun putih panjang. Rambut pirangnya berkepang dua, kulitnya pucat seperti kertas, hidungnya mancung, matanya biru, ada luka berdarah di mukanya namun tidak mengurangi kecantikannya. Dia berdiri di bawah bayang-bayang pohon besar, seolah memperhatikan kami dari kejauhan.
Seketika itu, sosok noni Belanda itu menoleh. Mata birunya yang kosong menatap langsung ke arah temanku. Tak ada senyum, tak ada sapaan, hanya tatapan dingin yang menusuk sampai ke tulang. Jantungku berdetak kencang, rasa takut mulai merayapi tubuhku. Temanku yang melihatnya pertama kali, tanpa berpikir panjang, langsung berteriak, "Ada noni Belanda!" Panik menjalar di antara kami.
Tanpa menunggu lebih lama, kami semua serempak bersepeda dengan cepat meninggalkan tempat itu. Napas tersengal-sengal, kami melajukan sepeda hingga rumah angker itu tak lagi terlihat. Meski sudah jauh, bayangan tatapan kosong noni Belanda itu masih membekas dalam pikiran kami, menghantui setiap langkah pulang. Tepat saat kami merasa aman, salah satu dari kami bergumam pelan, "Apakah dia sedang mengawasi kita sekarang?"