Lebaran selalu membawa cerita yang tak hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga kegelisahan, terutama bagiku. Momen di mana aku dan Dik Ita kembali ke kampung untuk berkumpul dengan keluarga besar selalu penuh dengan tanya, dan entah kenapa, semakin lama rasanya semakin berat untuk dilalui. Setiap tahun, seolah ada pertanyaan yang tak pernah usang, yang berulang dari mulut Om dan Tante, Paklik dan Bulik istriku: Kerja di mana sekarang? Gajinya berapa? Apakah tidak ingin mencari pekerjaan yang lebih besar? Tanpa mereka mau memberikan solusi rekomendasi pekerjaan yang dapat menjanjikan kehidupan kami menjadi lebih sejahtera...
Tahun ini, saat kami berkunjung, suasana yang seharusnya hangat malah terasa menekan. Bahkan sebelum kami tiba, aku sudah bisa membayangkan bagaimana tatapan dan komentar yang akan aku terima, meskipun sudah berusaha keras menyiapkan mental untuk itu. Tapi tetap saja, tidak mudah. Rasanya seperti ujian tak tertulis yang harus kuhadapi, seolah-olah aku akan dinilai dari pencapaian materi dan bukan hal lainnya.
Begitu sampai, semua berlangsung seperti yang aku kira. Tatapan mata, senyum yang tidak sepenuhnya tulus, dan komentar yang tak pernah berubah dari tahun ke tahun. Mereka sering membandingkanku dengan suami adik sepupu istriku, seorang pegawai badan telik sandi negara yang punya jabatan prestise. Di akun instagramnya terlihat kisah seru dari perjalanan dinasnya ke luar negeri, lengkap dengan cerita tentang destinasi-destinasi eksotis yang dikunjungi. Dia bisa mengajak keluarganya liburan ke mana-mana, dan untuk keluarganya, itu tampaknya sebuah pencapaian yang tak ternilai.
Tidak cukup dengan itu, aku secara tidak langsung juga kerap dibandingkan dengan suami adik sepupuku sendiri, seorang teknisi kapal yang bekerja untuk perusahaan multinasional. Katanya, dalam setahun dia bisa mengantongi penghasilan hingga miliaran rupiah. Rumahnya besar, mobilnya lebih dari satu, dan dia bisa membeli apa saja yang diinginkan keluarganya tanpa berpikir panjang. Kisah sukses mereka jadi perbandingan yang seolah-olah sudah menjadi takdir bagi mereka untuk berhasil, dan aku yang tampak biasa saja di mata keluarga besar ini.
Mereka tak berhenti di situ. Dengan nada tak langsung, mereka agak aneh melihat keadaan kami, sepertinya di benak mereka meskipu tanpa bersuara seperti ini, oh, kesini naik motor, naik mobil sewaan, naik ojol mobil? Tidak naik mobil sendiri? Sudah bertahun tahun kerja berdua koq tidak bisa beli mobil sendiri? Rumah yang aku dan Mbak Ita tinggali sekarang, meskipun sudah lunas, bukanlah hasil keringat kami sendiri sepenuhnya. Rumah itu dibantu oleh nenek Dik Ita, dan aku tahu, ini menjadi topik tersendiri bagi sebagian besar keluarga besar. Meski kami mengucap syukur untuk itu, ada rasa getir setiap kali menyadari bahwa apa yang kami miliki dianggap tidak cukup “mengesankan” bagi mereka.