Pagi itu, setelah berdebat lama dengan diriku sendiri dan menenangkan kekhawatiran yang terus menggelayut, aku duduk di ruang tunggu laboratorium. Rasanya jantungku sudah berdegup tak karuan begitu melihat antrian pasien yang berbaris untuk pengambilan darah. Sejak kecil, jarum suntik selalu menjadi ketakutan besar buatku, dan tak sedikit pun rasa takut itu berkurang meski usiaku kini sudah di atas kepala empat.
Saat mendekati giliranku, aku mendapati diriku semakin gelisah. Tangan dingin, napas cepat, dan berkali-kali aku melirik ke arah pintu ruang pengambilan darah. Ketika namaku dipanggil, aku refleks bergeser sedikit ke belakang, berharap tak ada yang menyadari ketakutanku yang nyata. Namun, seorang perawat yang tampak lebih tegas dan sedikit judes justru melirik ke arahku.
“Pak Andre, kalau takut, dilewat saja dulu ya. Kasihan yang lain sudah menunggu,” katanya sambil melirik antrian di belakangku.
Aku terdiam, merasa malu, tapi ketakutan akan jarum suntik masih lebih besar. “Eh, iya… bisa dilewat dulu, Mbak. Saya siap kok, cuma… ya mungkin butuh waktu,” jawabku setengah berbisik, mencoba menahan grogi.
Perawat itu menggeleng, lalu memanggil pasien berikutnya. Aku akhirnya menunggu dengan perasaan campur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menghilangkan rasa takutku. Keringat dingin mulai membasahi dahiku, dan Bu Ita, istriku yang selalu setia di sampingku, meyakinkanku, mencoba menenangkanku. “Santai saja, Mas. Kita bisa lakukan ini pelan-pelan, yang penting kamu berani coba,” katanya menenangkan.