Siang itu, aku dan Bu Ita duduk menunggu di ruang tunggu poliklinik psikosomatis, bersiap bertemu dengan dokter Noor Asyiqh Sofia, seorang spesialis psikosomatis yang akan membantuku menata kembali kesehatan mental dan emosional. Perjalanan panjang ini bukan sekadar tentang tubuh yang sehat, tapi juga tentang menyembuhkan luka batin yang selama ini kutanggung.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya kami dipanggil masuk. Dokter Noor menyambut kami dengan senyum lembut, dan kehangatan di dalam ruangannya segera menenangkan kegelisahanku. Dari awal, ia terlihat penuh empati, seperti memahami beban yang aku bawa.
“Pak Andre, Bu Ita, mari kita ngobrol. Apa yang membuat Bapak dan Ibu datang hari ini?” tanya dokter Noor, memulai perbincangan.
Aku menghela napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menceritakan hal-hal yang selama ini kupendam. Pelan-pelan, aku mulai menceritakan masalah-masalah yang memberatkan hatiku selama ini: keluargan istriku yang penuh memberikan tekanan kepadaku, teman-teman kantor yang dulu membuat aku di-PHK, sampai pada tetangga yang rasanya selalu memperhatikan setiap gerak-gerikku dan menggangguku setiap waktu.
Dokter Noor mendengarkan dengan seksama tanpa menyela. Setelah aku selesai berbicara, ia tersenyum, lalu berkata dengan lembut, “Pak Andre, apa yang Bapak alami sangat wajar. Tidak semua orang akan menyukai kita atau menerima segala keputusan kita. Tapi yang perlu kita sadari, kita tak bisa mengontrol orang lain, kita hanya bisa mengontrol bagaimana kita bereaksi terhadapnya.”
Aku mengangguk, merasa ada titik terang dalam kalimat sederhana itu. Namun, Bu Ita menambahkan hal yang selama ini juga membuat hubungan kami sering tegang.