“Hah? Sekolah? Apa itu sekolah?”
“Surianna Nayama Mircea!!!!! WOI KEBO!!! BANGUN!!!!” Suara Jayne yang menelponnya itu berteriak kemudian membuat kupingnya sakit.
Sunny berusaha mengucek kedua matanya yang sangat mengantuk dan melihat jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul tujuh. Tepatnya 30 menit lagi Sunny akan terlambat. Entah mengapa dia bisa membayangkan Pak Botak akan mencukur rambutnya yang lurus dan indah itu, sama seperti dia mencukur murid cowok di lapangan.
“SIALAN TELAT!” Berkat Pak Botak, Sunny berusaha bangkit dari tarikan magnet ranjangnya yang membuat tubuhnya semakin berat untuk digerakkan. Akhirnya berkat tekad yang kuat dia bisa bangun. Sunny menutup ponselnya kemudian bergegas mengambil handuk dan berlari menuju kamar mandi.
Pagi itu Sunny bangun terlambat untuk yang kesekian kalinya. Mungkin karena semalam dia terlalu banyak menonton Drakor di laptopnya. Kali ini dia ingin menyelesaikan ‘Hotel Del Luna.’ kedua matanya terlalu berat untuk terbuka karena semalam dia menangisi episode terakhir dari Drakor yang telah ditonton selama berbulan-bulan demi menunggu episode per episode. Padahal dia sendiri yang membuat jadwal untuk tidur lebih awal karena pagi harinya adalah semester genap dimulai. Tetapi bukan suatu yang mengejutkan ketika Sunny kembali mengingkari janji pada jadwal yang telah dibuatnya dengan susah payah. Itu adalah kebiasaan nya dan sangat susah untuk diubah.
Sunny melihat di meja makan, mamanya telah menyiapkan roti panggang dan salad buah kesukaannya tetapi dia lagi-lagi harus menyimpannya di kulkas karena sudah tidak sempat lagi untuk sarapan. Sangat beruntung mamanya telah menyiapkan bekal makan siang, mengingatkan bahwa uang jajan bulanannya telah habis semenjak teman-temannya mengajaknya nonton bioskop. Jika diingat-ingat saat itu dia memohon kepada mamanya karena dia ingin mendapatkan uang jajan tetapi mamanya hari itu menginap di kantor tanpa memberitahunya, sehingga dia hanya bisa menggunakan uang jajan bulanannya. Walaupun Sunny berusaha berhemat, tidak mudah hidup di ibukota dikelilingi oleh teman-teman yang sedang mencari hiburan di masa remaja seperti dirinya.
Pagi itu Sunny dengan cepat mencatok rambutnya kemudian bergegas mengenakan seragamnya. Dia melihat pantulannya di cermin, memastikan tidak ada kesalahan dalam seragamnya. Setelah menyemprotkan beberapa semprotan parfum beraroma vanilla, Sunny memakai sepatunya dan berlari menuju garasi untuk mengambil sepedanya.
Sunny menaruh tasnya di keranjang sepedanya. Kayuhan pertama dia mulai bergegas untuk berlari menyebrangi jalanan yang sudah ramai oleh banyak mobil dan angkot. Sunny berusaha keras untuk mengayuh pedalnya untuk sampai ke sekolah. Beruntung SMA Novelia terletak 500 meter dari rumah susun tempat dia tinggal. Tentang SMA tempat dia sekolah tidak ada istimewanya. Bukan termasuk sekolah favorit, bukan juga termasuk sekolah yang terasing.
Sunny masuk ke SMA Novelia karena dekat dengan tempat tinggal barunya ketika mamanya memutuskan untuk pindah perusahaan penerbit yang terletak jauh dari ibukota. Walaupun jauh dari ibukota, lingkungan tempat tinggalnya tidak jauh berbeda dengan tempat tinggal lamanya. Yang paling terpenting, rumahnya dekat dengan warnet. Karena di warnet lah dia bisa mengerjakan tugasnya. Tidak ada jaringan wi-fi di rumahnya. Mama nya hanya memberikannya ponsel jadul yang hanya memiliki fitur SMS dan telpon. Biasanya Sunny menerima hardisk dari Jayne yang juga pecinta Drakor. Lebih tepatnya Jayne meracuni Sunny dengan kecintaan fanatiknya terhadap Drakor dan oppa-oppa yang luar biasa tampan.
Walaupun bekerja, mama nya adalah orang yang tegas dan penuh disiplin. Dia sengaja memberikan anaknya ponsel jadul supaya anaknya tidak terlena oleh gawai canggih dan membuang-buang waktunya untuk belajar. Tetapi berkat kedisiplinan mama nya, Sunny bisa meraih peringkat lima besar ketika dia masih Kelas X dulu.
“SAFE!” Sunny kemudian memarkir sepedanya di pojokan parkiran motor, dimana dia bisa menggembok sepeda ontel miliknya supaya tidak dicuri.
Sunny mengistirahatkan dengkulnya yang kelelahan karena mengayuh sepeda. Tentu saja dia sangat lelah. Dulu Sunny meminta motor untuk berangkat ke sekolah karena teman-temannya berangkat dengan motor mereka dan memarkirnya di sekolah. Pemandangan ketika melihat kakak kelasnya memarkir motor sangatlah keren bagi Sunny yang saat itu baru saja duduk di semester genap Kelas X. Mama yang mendengar alasan mengapa mereka harus membeli motor, diterima oleh mama.
Keesokan paginya, mama malah memberikan sepeda ontel milik kakek tua dari pintu sebelah. Lampu sepeda nya bahkan harus dibetulkan ke bengkel. Entahlah apa yang membuat sepeda itu menarik perhatian mama nya. Sunny tak henti-hentinya meneror mama untuk dibelikan motor baru. Tapi mama adalah orang yang keras kepala dan kedisiplinan yang sangat tinggi. Sangat tinggi sampai-sampai rumah selalu terlihat mengkilap tanpa debu sedikitpun. Perfeksionis abnormal. Sehingga keputusannya bulat dan Sunny harus terima ejekan dari teman-temannya karena datang ke sekolah dengan sepeda ontel.
Sunny memberikan salam kepada guru-guru yang menjaga di depan gerbang SMA Novelia. Kemudian dia berlari menuju lantai tiga, tempat ruang kelas XII-II IPS berada. Hari itu sudah terlalu siang untuk mencatat PR yang diberikan oleh guru-guru yang akan mengajar di hari pertama di semester awal mereka naik kelas. Untuk itu, separuh kelas sengaja datang terlambat.
Suasana kelas masih sunyi. Kelas akan dibilang ramai jika anak cowok sudah memasuki kelas dan mulai memainkan permainan konyol mereka yang membuat seisi ruangan bising. Tetapi hari ini masih sangat sunyi, karena anak cowok sedang sibuk di balkon mencari mangsa calon anak cewek yang bisa dijadikan primadona angkatan kelas X.
“Itu balkon rame banget. Sampe bau jigong.” Sunny menghampiri teman-temannya yang telah menyambar dua deret bangku di belakang dekat jendela. Posisi yang strategis untuk menjauhkan aktivitas mereka dari kebisingan kelas.
“Biasa.. pada cari mana yang bakalan jadi calon Evelyn ke II.” Jawab Mary dengan nada sarkastik.
Marysia Azuralina. Atau biasa dipanggil Mary. Seperti namanya, warna kesukaannya adalah biru. Mulai dari warna tas, peralatan tulis, buku tulis dan bahkan kamarnya semua berwarna biru. Kebanyakan orang memanggilnya Azura karena nama Mary sudah menjadi nama pasaran di SMA Novelina. Hanya teman-teman dekatnya saja yang memanggilnya Mary. anehnya di rumah, keluarganya memanggilnya Lina.
Rambut keriting yang dikuncir kuda. Ekspresi wajah yang lembut dan tas ransel biru adalah identitasnya. Semua orang mengenal Mary sebagai tukang gambar. Dia selalu menggambar untuk dibayar. Entahlah menggambar beberapa komisi yang diberikan klien-klien di sekolahnya. Mulai dari poster, cover majalah klub jurnalis, karikatur, manga, manhwa dan sebagainya. Cita-citanya adalah untuk menjadi ilustrator, masih belum berubah semenjak dia pertama kali mencoret tembok rumahnya ketika dia masih berusia balita. Mary melihatnya sebagai peluang, karena dia ingin mendapatkan uang jajan lebih daripada merengek minta ke ibunya.
“Gatau kenapa mereka berpikir terlalu dangkal.” Komentar Jayne. “Kecantikan atau ketampanan itu juga bukan segalanya. Nanti semakin tua juga bakalan ilang.”
Jennifer Marine Hortensia. Atau disingkat Jayne. Nama yang singkat, padat dan lengkap. Begitulah alasan mengapa dia memanggil dirinya Jayne. Jayne selalu memotong rambutnya tipis dengan gaya bob. Poninya selalu menampilkan tatapan bola matanya yang tajam mengobservasi semua kegiatan sekolah sedetail mungkin. Jayne adalah seorang pianis. Pendengarannya sangat tajam, dia bisa mendengar sebuah pembicaraan dari jarak radius 200 meter diantara keramaian.
Ekspresi wajahnya selalu datar, tetapi sekalinya dia berbicara, mereka akan ketakutan dengan lidahnya yang berbisa. Semua orang mengenal Jayne sebagai jurnalis yang idealis. Dia selalu menuliskan artikel-artikel yang mengkritik tentang kebijakan sekolah dan gosip-gosip terbaru yang beredar di semua kasta.
Jayne adalah orang pertama yang berani menggunakan istilah kasta untuk mengkritik a sistem stratifikasi aturan pertemanan di SMA Novelia. Beberapa kali dia berurusan dengan Pak Kepsek karena kritikannya yang sangat pedas, tetapi Jayne bisa lolos dari hukuman skorsing karena dia telah memenangkan banyak penghargaan menulis esai tingkat mahasiswa. Salah satu rahasia sekolah, Pak Kepsek tidak berani menghukum murid-muridnya yang telah membantunya mengoleksi piala di lemari kaca sekolah.
“Ya tapi itu juga bermasalah di lingkungan masyarakat kita. Tau gak kalo kadang di kantor, cewek cantik itu selalu cepat naik jabatan dibandingkan cewek-cewek muka pas-pasan.” Ermia ikut berkomentar setelah dia membaca salah satu artikel majalah yang ditulis oleh Jayne.
“Bahkan orang dewasa pun juga berpikir sangat dangkal.” Jawab Jayne sambil tertawa.
Ermia melihat kearah bangku tempat para primadona sedang duduk dengan tenang. Beberapa mulai mencatok rambut mereka. Ada juga yang sedang sibuk membicarakan betapa jeleknya kuku mereka. Kebanyakan sedang bersiap-siap dengan mengoleskan lipthin pada bibir mereka.