Sunny dengan panik segera memarkir sepedanya di garasi belakang rumah susun. Jam tangannya menunjukkan pukul 8 malam. Sepulang sekolah, dia pergi ke rumah Jayne untuk menumpang wifi demi menonton Conjuring. Sepertinya terlalu membosankan sehingga Sunny hanya bisa mendengar suara teman-temannya berteriak ketakutan sementara dia tertidur di sofa. Paling menyebalkannya, teman-temannya terlalu baik untuk membangunkannya sehingga Sunny ketiduran selama tiga jam. Ketika dia terbangun, jam di rumah Jayne menunjukkan pukul tujuh.
Ketika hendak menaiki tangga menuju lantai tujuh, Sunny segera mengeluarkan kunci rumahnya dari jaket almamater. Gantungan kunci susuwatari dari film spirited away memang selalu membuatnya dengan mudah menemukan kunci rumahnya di kantung jaket yang luas dan penuh. Ketika sedang berada di lantai enam, ponsel jadul Sunny bergetar.
Sunny membuka ponselnya kemudian menempelkannya di telinga. “Tante Rosie? Malam juga… ada apa ya?”
Ketika sampai di lantai tujuh, Sunny melihat sosok wanita jangkung mengenakan jaket kulit sedang berada di depan pintu rumahnya. Rambutnya dicat biru tua terlihat sangat mencolok sehingga dari kejauhan, Sunny langsung mengenalnya.
“Tante Rosie?”
Rosie menengokkan wajahnya ke arah Sunny. “Ya ampun… panggil saja kak. Aku terlalu muda untuk dipanggil tante…”
“Tante Rosie ada urusan apa ya kesini?” Sunny membuka pintu rumahnya setelah memasukkan lubang kunci ke ganggang pintu.
“Masih aja manggil tante…” Rosie mendengus kesal. Tanpa basa-basi, dia mengeluarkan amplop coklat dari tasnya. “Ibumu sepertinya akan sibuk. Jadi dia masih belum bisa pulang hari ini. Pekerjaan di kantor sedang sulit.”
“Bukan sepertinya, tetapi selalu.” Kata Sunny mengkoreksi.
Jujur saja Rosie sedikit merasa iba kepada anak temannya yang satu ini. Walaupun usianya menjelang remaja, tetapi tetap saja dia membutuhkan seorang ibu untuk menjaganya. Bisa dilihat dari raut wajah Sunny yang berubah menjadi datar ketika mendengar kabar ibunya yang sedang sibuk di kantor. Rosie berspekulasi bahwa Sunny adalah anak yang malang, pasti dia sangat kesepian di rumah sendirian.
“Sunny, kalau ada apa-apa telpon kakak ya…” Rosie melambaikan tangannya.
“Iya tante…”
“Dibilangin panggil aja kakak…”
“Iya nek…”
Sunny menutup pintu rumahnya kemudian menyalakan lampu yang mulai menerangi ruang dapur yang gelap dan dingin. Sunny melempar tas ranselnya ke kamarnya kemudian bergegas untuk mandi. Setelah mandi, semua rasa pegalnya seketika hilang begitu saja. Sunny memanaskan semur sisa semalam dan menikmatinya bersama nasi di meja ruang tamu. Sambil menonton televisi, Sunny mulai merenungkan isi pikirannya pada kejadian hari ini.
Ketika Sunny pergi ke rumah Jayne, ibunya menyambut mereka di rumahnya yang sangat besar dan megah. Ibunya memberikan mereka pai apel yang sangat lezat. Mama juga bisa memasak, bahkan pie apel buatan mama lebih lezat dibandingkan pai apel buatan ibunya Jayne. Tetapi itu sudah sangat lama. Terakhir kali Sunny melihat mama pergi ke dapur adalah ketika lima tahun lalu. Masakan terakhir yang masih terasa lezat dimakan bersama adalah steamboat dan yakiniku di meja ruang tamu. Saat itu asap mengepul dan membuat seluruh ruangan bau daging bakar.
Jujur saja, Sunny lebih suka mama tak bekerja dan tetap menemaninya di rumah. Dengan begitu, Sunny bisa bercerita semua apa yang terjadi di sekolahnya. Mulai dari Evelyn dan kesehariannya di Klub Jurnalis bersama teman-temannya. Setahun adalah waktu yang sangat cepat dan mama semakin sibuk bekerja sehingga Sunny hampir lupa kapan terakhir kali dia berbicara santai kepada mama.
“Aku kangen mama….” gumamnya pelan.
* * *
“Saya dapat panggilan dari utusan DPR. bagaimana mungkin kamu bisa menulis berita yang mengundang keresahan masyarakat!” Pria tua itu dengan kesalnya meninggikan nada suaranya sampai liurnya menciprat keluar membasahi mejanya.
“majalah kita ini berisi tentang selebriti, media, hiburan, bukan tentang kritik politik pemerintahan!”
“Ini adalah peringatan yang terakhir. Jika kamu lagi-lagi menulis berita tentang kritik politik pemerintahan, jangan kembali lagi kesini!”
“MENGERTI?!”
Marlina semenjak tadi hanya bisa menundukkan wajahnya ketika dia memasuki gedung Direktur Majalah Journal. Selama lima tahun, Marlina telah bekerja sebagai jurnalis senior yang telah menulis banyak berita di Majalah Journal tentang gosip terbaru selebriti-selebriti. Tetapi dia merasa bosan, dan bulan ini dia kembali mendapat teguran karena berani menulis berita tentang kritik politik pemerintahan. Berkat beritanya itu, pembaca Majalah Journal mulai meningkat, tetapi Pak Direktur terus menekannya sampai pada hari ini, Marlina hanya bisa menundukkan wajahnya.
Marlina perlahan menjawab dengan nada gemetar, dia berusaha mengangkat wajahnya ketika dia menjawab.
“Tapi penjualan Majalah Journal semakin meningkat karena skandal para politikus. Bukankah seperti itu harus dipertahankan? Bapak tak bisa melihat, berapa banyak pegawai kantor kita yang harus kehilangan pekerjaan mereka karena penjualan Majalah Journal yang sangat rendah?”
Wajah Pak Direktur berubah menjadi masam. Dia melempar gelasnya yang masih berisi kopi ke dinding belakang Marlina. Dia berusaha melempar gelasnya mengenai wajah anak buah nya yang kurang ajar itu tetapi malah meleset. Marlina segera menundukkan kembali wajahnya.
“Memangnya kamu siapa bisa menceramahiku?” nada suaranya semakin tinggi dan kali ini suaranya terdengar sampai keluar ruang kantor.
Asisten Pak Direktur yang sedang diluar mejanya, hanya bisa menundukkan wajah dan mendoakan tidak ada lagi panggilan ambulans yang harus datang ke kantor mereka hari ini. Sudah beberapa kali Pak Direktur dan Jurnalis Senior mereka bertengkar tetapi hari ini adalah yang terparah.