Auristella

Amiralie
Chapter #3

Ep. 3 - Tiga Serangkai

Leonardo. Atau biasa dipanggil Leon. Siapa yang tak mengenalnya. Dia memiliki penampilan yang terlalu menyolok untuk menjadi mahasiswa senior di kampusnya. Pada umumnya, senior-senior di kampusnya selalu memiliki penampilan yang berantakan, rambut gondrong dan jeans yang tak dicuci selama berbulan-bulan. Tetapi Leon selalu berpenampilan rapi. Dia selalu membanggakan betapa mudah menyisir rambutnya yang lurus. Kemanapun dia pergi, dia selalu mengenakan kemeja. Sangat jarang dia mengenakan jaket atau cardigan. Bahkan dalam urusan celana, Leon memiliki koleksi celana kain berwarna hitam di lemari pakaiannya. 

Penampilannya terlihat seperti tipe orang kantoran yang membosankan. Begitulah Marlina dulu mengenalnya. Tetapi bagi mahasiswi di kampusnya, Leon adalah primadona yang sempurna. Leon sangat terkenal. Bahkan para mahasiswi mendirikan fanclub untuk memuja ketampanannya. Leonicious. Begitulah mereka menamai fanclub mereka. 

Selain tampan, Leon adalah orang yang sangat karismatik dan juga licik. Licik dalam hal baik. Maksudnya, setiap perkataan yang dikatakan Leon selalu membuat semua orang setuju pada pendapatnya. Kelicikannya yang karismatik adalah modalnya untuk memasuki dunia hukum. Tetapi Leon tidak pernah mengatakan bahwa dia bercita-cita menjadi seorang pengacara. 

Katanya, dia memasuki jurusan hukum karena sekedar iseng. Dia selalu merasa bosan dengan segala hal yang dilakukannya setiap hari. Tetapi kegiatan iseng macam apa yang membuatnya selalu mendapatkan nilai tertinggi di angkatannya? Orang jenius memang selalu kurang kerjaan.

Pertemuan pertama mereka adalah ketika Marlina sedang mewawancarainya untuk rubrik majalah ketika dia sedang magang. Kehidupan mahasiswa jurusan hukum sedang banyak dibahas untuk artikel beberapa bulan ke depan. Terlebih lagi, Leon memiliki penampilan yang meyakinkan, sehingga artikel akan terjual banyak. Wawancara bersama Leon dipenuhi dengan ketidakmampuan Marlina untuk mengerti apa yang Leon rasakan sebagai mahasiswa senior jurusan hukum. Entah karena Leon terlalu banyak menggunakan filsafat untuk menjelaskan isi pikirannya, atau karena Marlina kurang membaca buku-buku tentang hukum. Tetapi ada satu pembicaraan yang menarik perhatian Marlina. 

“Bagaimana dengan keluarga anda? Apakah mereka bangga kepada anda yang sebentar lagi akan lulus sebagai pengacara?” Tanya Marlina. 

Leon saat itu terdiam sejenak, menatap secangkir kopinya dan memainkan jemarinya yang merasakan detak jantungnya yang gugup. Kemudian dia menjawab. 

“Entahlah. Saya memiliki tanggung jawab tak diinginkan yang telah melekat dari diri saya semenjak lahir. Tanggung jawab itu berupa warisan. Menjadi pengacara adalah salah satu pelarian saya dari tanggung jawab yang tak diinginkan itu.” 

Marlina bertanya sambil menuliskan dengan cepat apa yang dikatakan oleh Leon. “lalu, apa tanggung jawab anda? Mengapa anda melarikan diri dari tanggung jawab tersebut?” 

“Saya mengatakan ini karena saya mempercayai anda yang telah banyak meyakinkan saya untuk mewawancarai saya. Soal tanggung jawab itu, saya akan katakan lain kali jika kita bisa bertemu lagi.” 

Marlina berhenti menulis kemudian mengangkat wajahnya. “Apa maksud anda?” 

“Sebenarnya, saya ingin mencari teman. Mungkin anda lah orangnya.” 

Ketika mendengar perkataan itu, Marlina terdiam. Wajahnya terlihat datar. Padahal di sisi lain, Marlina tak bisa mengendalikan detak jantungnya yang terus berdegup kencang. Seperti ada sesuatu di perutnya yang membuatnya merasa senang sekaligus penuh curiga. Primadona di kampusnya sedang mengajaknya untuk berteman dengannya. Jujur saja, Marlina terlalu senang menerima panggilan itu. 

“Baiklah, saya akan berpura-pura saya tak mendengar apa perkataan anda.” Marlina hendak mencoret apa yang baru saja ditulisnya. “

Entah mengapa, semenjak pertemuan wawancara itu, Leon secara tak sengaja selalu bertemu dengan Marlina di kampus. Selama berhari-hari Marlina menghindarinya karena tak ingin membuat banyak rumor yang beredar tentang dirinya hanya karena dia telah berteman dengan primadona kampusnya.

Pada suatu hari, Leon pada akhirnya mengaku bahwa dia telah mengikuti Marlina semenjak hari pertama mereka bertemu untuk wawancara. Marlina justru lebih merasa ngeri dan tak nyaman ketika hanya ada mereka berdua sedang berbicara. Leon terus mengejarnya seperti seekor anjing penurut yang sedang kehilangan tuannya. Sementara itu Marlina sedang sibuk menyembunyikan dirinya selama beberapa minggu dari kejaran anjing yang terus berusaha mencari keberadaanya di kampus. 

Pada akhirnya Marlina menyerah ketika Leon mulai mengajak Theo untuk terus mengikutinya. Bagaimana rasanya jika diikuti oleh dua anjing sekaligus yang terus mengendus keberadaanya di kampus. 

Lihat selengkapnya