"Sekarang apa yang kau mau, Mami?!"
"Aku hanya mau harga yang adil, Pak. Bagaimana mungkin aku membayar sebesar itu? Bapak tahu belakangan kita sedang kesusahan!"
"Aku tak mau tahu! Urusan keamanan sudah kupegang dan harusnya uang itu telah jadi hakku. Tugasmu cuma menghasilkan, bukan? Apa pun caramu, lakukan! Kau punya pengalaman!"
"Tapi, Pak ...."
"Kau bisa pekerjakan gadis-gadis baru! Kau bisa menaikkan tarif! Apa pun itu mesti kau lakukan! Aku cuma mau setoran bulanan sesuai dengan yang kita sepakati! Titik!"
Wanita itu cuma diam mendengar tamu lelakinya nyaris menggebrak meja 'kantor'-nya. Tentu saja mereka tak pernah sepakat. Sesuatu yang dianggap sebagai 'kesepakatan' hanyalah apa yang lelaki itu tentukan, dan hanya itulah yang harus berlaku.
Maka lelaki itu pergi setelah tak ada lagi kata-kata bantahan. Untuk beberapa saat, keadaan di ruangan itu terasa hening.
"Ada apa, Sayang?"
Suara itu mengagetkan si wanita. Ia menoleh, sekejap kembali lesu saat mendapati ternyata wajah suaminya sendiri yang muncul di balik pundaknya. Sang suami terlihat cemas sekaligus geram.
"Si Kancing lagi, Mas. Dia meminta lebih!"
"Apa dia buta?! Tidak melihat kita sedang kesusahan?! Dan siapa lagi penyebabnya kalau bukan Ali Subeni? Orang itulah yang harusnya mendapat pelajaran, bukan kita!"
"Kamu seperti tak tahu Kancing saja! Dia harus menerima jumlah yang dia mau!" Si wanita terdengar kesal. "Lagi pula Ali Subeni sudah menjamur di penjara!"
"Ya, harusnya Kancing bisa meminta tolong kenalannya. Siapalah itu aku yakin bisa bikin dia menemui Ali Subeni, bukan? Lalu minta saja duit kerugian sama Ali!"
"Kamu pikir itu bisa membebaskan kita, Mas?"
Sang suami tak tahu harus bilang apa. Tak ada yang membebaskan mereka. Tak ada kecuali lelaki bernama Kancing tadi berhenti. Dan semua yang mengenal Kancing pun tahu ia orang yang tak mungkin berhenti.
Mereka terdiam dalam amarah yang harus terkumpul dan terpendam di tempurung kepala. Bagaimanapun situasi ini bukanlah untuk yang pertama kali. Tamu lelaki mereka tadi meminta kenaikan setoran per bulan untuk yang kesekian kalinya. Dan biasanya tak ada masalah. Karena dulu tak pernah ada masalah. Bisnis mereka selama bertahun-tahun berjalan lancar. Untuk sebuah bisnis di mana para pria genit membeli kesenangan dari tubuh wanita-wanita, di kota yang orang-orangnya beragama, jalan mereka terbilang nyaris tanpa hambatan.
"Bisnis kita terseok-seok karena ulah Ali Subeni! Kalau saja bisa, aku sudah hajar cecunguk itu! Gara-gara dia menculik anak gadis itu lalu dibawa ke gang sini, kita yang kena getahnya!"
"Semua penghuni gang kena getahnya juga, tapi kita yang paling kepayahan," sahut si wanita, mengoreksi ucapan suaminya.
"Ya, kamu benar. Kita yang paling menderita ditekan Kancing. Kalau bajingan tadi benaran menjaga keamanan, Ali Subeni tidak mungkin bawa masalah ke dalam gang! Yang kita tahu Kancing cuma mau enaknya saja toh?"
"Yang perlu kita lakukan sekarang cuma cari cara supaya tempat ini kembali ramai, Sayang. Ayo, kita tidur dulu! Besok kita pikirkan sama-sama!"
Mereka keluar dari ruang paling ujung yang disebut 'kantor', di mana di sanalah seluruh pemikiran terkait bisnis terjadi. Si wanita berjalan lesu, digandeng suaminya menyusuri koridor bangunan mewah mereka yang penuh pernak-pernik serta pelbagai jenis benda seni nan mahal. Pintu-pintu kamar di kiri-kanan koridor itu tampak tertutup. Tidak ada suara bisik-bisik atau desah napas seperti biasa di balik setiap pintu, karena hari itu masih terlalu sore untuk memulai bisnis.
Bisa saja mereka jual semua benda pajangan untuk menambal kekurangan setoran bulan ini yang mendadak dinaikkan, tetapi itu terdengar konyol dan percuma. Tak ada yang membeli benda-benda itu. Satu-satunya cara yang harus mereka lakukan hanyalah menuruti permintaan tamu yang mereka panggil Kancing tadi.
Si wanita menyesal. Ia terkenang tentang bagaimana dahulu tamu tadi menemuinya dan menawarkan sebuah kerja sama. Kerja sama yang mulanya menguntungkan kedua belah pihak, namun lama-lama menyusahkannya. Seperti sesosok hantu yang tak pernah bisa ia lihat namun diam-diam mencekiknya hingga ia sulit bernapas.
Diam-diam wanita itu menangis sepanjang malam, menyadari bagaimana seragam dan jabatan mampu mengubah nasib banyak orang.
"Antara memuliakan atau menghinakanmu. Begitulah nyatanya fungsi seragam di negeri ini. Bajingan laknat itu tidak pernah bisa dihentikan. Ia akan tetap begini, terus menaikkan uang setoran dan aku akan tetap kalah! Dan dia yang selalu, selalu, menjadi pemenang!"